WONOSARI, kabarhandayani,– Mencari nafkah demi menghidupi segenap keluarga adalah tanggung jawab seorang kepala keluarga. Demikian pula dengan Suranto seorang perantau warga Getas Playen yang harus berjibaku dengan kerasnya kehidupan kota.
Suranto adalah seorang pedagang gorengan di Jakarta, bersama istri dan tiga orang anaknya ia menunggu kedatangan bus malam yang akan membawa dirinya untuk kembali mencari nafkah di Ibu kota. Suranto harus menarik nafasnya dalam-dalam ketika bus yang akan membawanya sudah tiba di Terminal Dhaksinarga, ia mengaku sangat sedih ketika harus kembali meninggalkan ketiga buah hatinya.
“Dengan berat hati saya terpaksa meninggalkan ketiga anak saya, namun itu semua demi kebaikan untuk keluarga,” katanya dengan wajah berniang air mata. Rabu (06/08/2014).
Pekerjaan menjadi seorang penjual gorengan sudah ia tekuni selama sepuluh tahun. Semua itu dilakukan karena Suranto menjadi tulang punggung keluarga dan orang tuanya. Setiap pagi, ia harus berbelanja dan mengolah adonan yang akan dijual. Keluhan saat ia mencari nafkah di Ibu kota adalah iklim, dan harga bahan pokok yang naik turun. “Jika musim hujan, susah sekali untuk mencari nafkah. Kadang malah tidak berjualan karena banjir, bahkan kost-kostan saya juga ikut tergenang banjir saat musim hujan,” katanya.
Setiap lebaran Suranto selalu pulang kampung, karena Jakarta sepi ketika memasuki hari menjelang lebaran. Selain karena sepinya pembeli menjelang lebaran, ia memilih pulang kampung setiap lebaran karena orang tua Suranto sudah tidak lengkap lagi. “Bapak sudah meninggal 3 tahun yang lalu, tinggal tersisa ibu. Jadi, sebisa mungkin saya pulang ketika lebaran, supaya hati orang tua saya lega dan bisa berkumpul bersama,” ungkapnya.
Kepada KH, ia menambahkan, agar tiap lebaran bisa mudik ia harus menyisihkan uang sehari Rp 500 guna membeli tiket pulang dan balik. Uang sebesar Rp 500 dirasa sangatlah bernilai, kadang ia harus menghela nafas dalam-dalam ketika dagangannya tidak habis terjual. Sisa gorengan yang tidak laku, ia gunakan untuk lauk pauk dan sebagian juga ia bagikan kepada tetangga kostnya di Jakarta. Namun, ia tetap tersenyum karena ia menganggap berapapun pemberian dari Yang Maha Kuasa wajib disyukuri.
Pulang kampung saat lebaran bagi Suranto merupakan sebuah perjuangan, karena selain badan letih ketika terkena macet berjam-jam dan uang Rp 500 per hari yang ia kumpulkan selama satu tahun juga habis begitu saja guna membeli tiket dan keperluan sekolah anaknya. Namun rasa letih yang dirasakan hilang ketika ia sudah bertemu anak, istri dan orang tuanya.(Ananta/Tty)