Kisah Audrey yang sedang booming, memberikan kesadaran baru kepada masyarakat mengenai perilaku kekerasan yang terjadi pada anak dan remaja Indonesia. Kabar seorang remaja SMP dikeroyok dan dianiaya oleh 12 remaja SMA memang miris. Pengeroyokan itu dikabarkan memanas ketika mereka saling berkomentar di media sosial, yang berlanjut dengan tindakan kekerasan oleh 12 siswi SMA kepada Audrey. Berkaca dari situ, orangtua perlu memiliki pengetahuan akan fenomena bully yang bisa terjadi pada siapa saja, termasuk pada anak-anak kita.
Segala tindakan kekerasan di Indonesia sudah diatur oleh undang-undang. Berkaitan dengan bullying, Undang-undang nomor 35 tahun 2014 telah mengatur bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Bagi yang melanggarnya akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan atau denda paling banyak 72 juta rupiah.
Apa itu bullying? Bullying atau disebut sebagai perundungan adalah tindakan kekerasan/agresif, dimana terdapat ketidakseimbangan power/ imbalance power antara pelaku dan korban. Tindakan kekerasan tersebut dilakukan dengan sengaja dan berulang-ulang oleh pelaku. Ketidakseimbangan power atau kekuatan dapat berupa kondisi fisik yang jauh lebih kuat (badan pelaku bully lebih besar, misalnya) atau lebih popular dan punya pengaruh lebih besar di pergaulan (banyak teman). Biasanya, baik korban maupun pelaku bully, biasanya memiliki permasalahan psikologis.
Bullying dapat dikategorikan dalam tiga bentuk, yaitu bullying verbal, bullying sosial dan bullying fisik. Bullying verbal dapat berbentuk mengejek, menyebut nama dengan tidak pantas, berkomentar yang tidak senonoh, dan mengancam. Bullying sosial, misalnya menyebarkan fitnah atau rumor, mempermalukan seseorang di depan umum, mengatakan kepada teman untuk menjauhi orang tersebut, dan mengucilkan teman dalam lingkungan pergaulan. Sedangkan bullying fisik diantaranya adalah menendang, membuat seseorang tersandung, meludahi, merebut barang teman dan mempermainkannya, atau bersikap kasar kepada teman.
Data KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) tahun 2018 menyebutkan bahwa terdapat 19,3 % anak korban bully, dan 25,5 % anak pelaku bully. Artinya terdapat 44,8 % permasalahan anak berkaitan pada perilaku bullying (baik sebagai korban atau sebagai pelaku). Hal itu menegaskan bahwa perilaku bullying sangat dekat dengan kehidupan anak-anak dan remaja Indonesia. Sebagai psikologi klinis, penulis mendapati beberapa kali kasus bullying pada anak maupun remaja. Bahkan, menemukan pasien yang sudah dewasa dengan riwayat bully pada masa anak dan remaja mereka, masih memiliki dampak psikologis yang dirasakan meskipun sudah dewasa.
Dampak psikologis yang ditimbulkan bagi korban bully bisa sangat serius, misalnya: depresi kronis, pikiran untuk bunuh diri /perilaku menyakiti diri sendiri, mengalami kecemasan (anxiety disorder), PTSD (post traumatic stress disorder), atau menjadi mudah curiga kepada orang lain (paranoid). Tanpa tindakan dan penanganan yang segera ketika mengalami bullying pada masa anak dan remaja, dampaknya berlanjut hingga pada masa dewasa, yaitu beresiko untuk melakukan tindakan kekerasan pada pasangan dan pada anak, beresiko menjadi orang yang anti-sosial, dan beresiko menjadi pengguna narkoba.
Orangtua ‘zaman now’ perlu peka terhadap kehidupan anak-anak mereka dalam pergaulan pada masa kini, sebab ada kemungkinan anak kita adalah korban bully atau bahkan justru pelaku bullying. Ciri-ciri anak yang mengalami bullying diantaranya akan menunjukkan beberapa perubahan perilaku dari biasanya, seperti: mengurung diri dari pergaulan, sangat pemalu, mengalami gangguan tidur, mengalami gangguan makan, merasa rendah diri, tidak mau berangkat sekolah, menunjukkan kecemasan, mudah sakit, sering mengeluh sakit (perut sakit, pusing, badan sakit semua) tetapi tidak terbukti secara medis, prestasi menjadi buruk di sekolah dan menunjukkan ciri-ciri depresi.
Selanjutnya, yang tidak kalah penting adalah bagaimana mencegah supaya anak-anak kita aman dari tindakan dan perilaku bullying? Bermula dari keluarga, yaitu setiap hari orangtua mengajak anak berkomunkasi menceritakan kehidupan sosialnya atau pergaulannya dengan teman. Orangtua perlu peka jika menemukan perubahan perilaku anak yang menonjol, sebab 84% anak yang di-bully tidak melapor. Selain itu, penting untuk mengajari anak untuk tidak berkata atau bercanda yang menyakiti teman atau tidak menyebar fitnah. Orangtua perlu menanamkan nilai pada anak untuk jujur jika mengalami bully dan berani melaporkan jika menyaksikan teman di-bully. Dan yang terlebih penting lagi, orangtua di rumah tidak melakukan atau mencontohkan perilaku kekerasan.
Penulis :
Ardi Primasari, M.Psi.,Psikolog
Founder & Owner Prima Consultant (Personality & Community Development Center). Lahir di Paliyan, Gunungkidul. Psikolog dan Dosen Psikologi, Lulusan Magister Profesi Psikologi Klinis UGM, senang membaca, menulis, dan menyanyi.
Referensi:
US Departmenet of Health and Human Services (2018) What is Bullying. Diunduh di: www.Stopbullying.gov
Tempo.Co (2018) Hari Anak Nasional, KPAI Catat Kasus Bullying Paling Banyak. Diunduh di: https://nasional.tempo.co
Vertical Health, LLC (2018) Short Term and Long Term Effects of Bullying. Diunduh di: www.psycom.net