Alas Nangka Dhoyong Cikal Bakal Ibu Kota Kabupaten Gunungkidul

oleh -24369 Dilihat
oleh
Bangsal Sewoko Projo sekarang. KH/Bara
Prasasti Rehab Sewokoprojo. Foto: KH/Kandar
Prasasti Rehab Sewokoprojo. Foto: KH/Kandar

WONOSARI, (KH) — Legenda pembukaan ibukota Kabupaten Gunungkidul tidak lepas dari tokoh yang bernama Ki Demang Wanapawira. Diriwayatkan, Ki Demang Wanapawira bertempat tinggal di Piyaman. Wanapawira diyakini sebagai tokoh utama yang berhasil membuka hutan (babat alas) untuk permukiman baru.  Sebagaimana diceritakan oleh CB Supriyanto, Ketua Dewan Budaya Gunungkidul, dahulu kala area ibu kota kabupaten (kini Wonosari) merupakan hutan belantara dengan sebutan Alas Nangka Dhoyong.

Sebutan hutan dengan nama Alas Nangka Dhoyong karena pada salah satu sudut hutan jika diamati dari atas terdapat pohon nangka yang tumbuh tidak tegak, tetapi miring atau condong (Bhs Jawa: dhoyong). Menurut beberapa kisah, pohon tersebut berada di sebelah Kali Besole.

Dahulu kala wilayah Gunungkidul merupakan wilayah di bawah kekuasaan Mas Tumenggung Pancadirja yang berkedudukan di Pati, Genjahan, Ponjong. Wilayah yang berada di bawah kendalinya waktu itu dari utara dan timur ke area barat hingga Sumingkar (sekarang Sambipitu). Atas perintah Kerajaan Mataram Yogyakarta melalui Adipati Wiranegara, dilakukan upaya pemindahan pusat pemerintahan dengan maksud supaya dekat dengan Kasultanan Yogyakarta dan juga dekat dengan masyarakat. Kemudian dipilihlah hutan atau alas Nangka Dhoyong yang dinilai sebagai lokasi yang strategis.

Atas dasar prakarsa tersebut, kemudian dipanggilah semua pangreh praja untuk bermusyawarah, meliputi para panji, demang, rangga, dan ranupati se-kadipaten, termasuk di antaranya Panji Harjodipuro yang berkedudukan di Semanu. Panji Harjodipuro menunjuk Demang kepercayaannya, yaitu Wanapawira untuk melakukan babat alas.

Membabat atau membuka hutan alas Nangka Dhoyong bukanlah pekerjaan yang mudah bagi Wanapawira. Berulang kali dilakukan, namun tetap saja gagal. Hutan belantara yang terdapat banyak berbagai hewan buas, juga dikenal gawat, angker atau wingit. Hutan tersebut dipercayai sebagai rumahnya para dhanyang atau lelembut, sehingga rakyat Piyaman yang dikerahkan membuka hutan selalu gagal. (Dari sumber lain, diceritakan rakyat Paliyan juga turut membantu upaya pembukaan hutan ini).

Atas upaya yang tak kunjung berhasil, Wanapawira mengeluh. Ia lantas meminta bantuan Mbok Nitipawira, yakni kakak Wanapawira yang dikenal sebagai orang sakti di Kademangan Piyaman, bahkan Kadipaten Gunungkidul waktu itu. Mereka berdua diyakini merupakan keturunan keluarga pelarian Majapahit.

Akhirnya, Mbok Nitipawira ikut andil dalam tugas Demang Wanapawira. Mbok Nitipawira memberikan saran kepada adiknya berupa wangsit yang diterimanya, bahwa sebelum membabat alas Nangka Dhoyong harus meminta ijin kepada penunggunya, yaitu Nyi Gadung Mlati. Permohonan ijin dilakukan dengan syarat melakukan ritual atau semedi atau nenepi di hutan tersebut selama tujuh hari tujuh malam.

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar