SEMANU, (KH),– Di Gunungkidul secara umum memiliki kondisi tanah dengan porositas yang tinggi, sehingga air di dalam tanah cepat kering. Kenyataan tersebut menjadi kendala serius terhadap upaya tanam menanam, baik itu berkebun maupun bertani.
Namun demikian tantangan berat itu tak membuat petani menyerah. Seperti yang dilakukan warga Padukuhan Tambakrejo, Kalurahan Pacarejo, Kapanewon Semanu, Gunungkidul, Wiyono.
Kondisi sulit dalam memanfaatkan pekarangan untuk menanam berbagai sayuran dapat ia atasi. Setidaknya selama tiga tahun terakhir ini ia menerapkan konsep berkebun dengan istilah ‘cerdas air’.
“Di bawah tanah yang menjadi media tanam saya pasang plastik UV. Lahan saya bagi menjadi petak-petak sesuai jenis sayuran,” kata Wiyono saat ditemui di kebun sayuran mikiknya, Jum’at, (21/8/2020).
Penanaman sayuran yang ada di depan dan samping rumah miliknya cukup berhasil. Berbagai tanaman mulai dari slada, kangkung, sawi, aloevera, bayam, dan lain-lain nampak subur. Beberapa petak sayuran ada yang dibuatkan pelindung beratap plastik UV, atau yang biasa disebut green house.
“Air di tanah Gunungkidul cepat mengering. Cara bertanam sayuran konsep seperti ini solusinya,” terang Wiyono.
Sejak tiga tahun terakhir itu ia mampu memenuhi kebutuhan sayuran keluarganya. Bahkan mampu memasok atau dijual di lingkungan tempat ia tinggal. Ia mengakui, tahap persiapan bertanam dengan konsep ‘cerdas air’ membutuhkan banyak waktu dan tenaga. Sebab ia harus menggali tanah terlebih dahulu, memasang plastik, kemudian kembali menimbunnya. Akan tetapi dengan cara tersebut, Wiyono mampu menghemat banyak air saat proses perawatan tanaman.
“Jumlah pasokan air yang dibutuhkan kira-kira hanya separuh dari kebutuhan air apabila berkebun secara konvensional,” ungkap bapak 2 anak ini.
Tak heran, rintisan Wiyono menarik warga sekitar. Belakangan ini banyak warga yang tertarik untuk belajar di kebun miliknya.
Setelah berhasil dengan konsep ‘cerdas air’ Wiyono lantas melakukan pengembangan. Agar berkebun memberikan hasil yang optimal, ia gagas lahan perkebunan terintegrasi dengan peternakan.
“Saya tambahkan ternak kambing dan unggas skala kecil, kotorannya mampu diolah menjadi pupuk oragnik memenuhi kebutuhan tanaman sayuran,” jelas dia.
Lebih jauh disampaikan, pemanfaatan lahan pekarangan dengan pola tersebut sangat membantu mencukupi kebutuhan pangan rumah tangga. Bahkan sangat mungkin memberikan tambahan penghasilan.
Melihat inisiatif Wiyono, Rektor UNY, Prof Sutrisna Wibawa mengaku tertarik sekaligus kagum. Dirinya menyempatkan meninjau kegiatan panen sayuran di lahan milik Wiyono itu.
“Cukup cerdik, pemanfaatan pekarangan dengan pola terintegrasi peternakan-perkebunan serta konsep ‘cerdas air’ perlu diterapkan oleh tiap rumah tangga,” tandas Sutrisna Wibawa.
Terlebih, hasil dari perkebunan organik merupakan komoditas sayuran pilihan. Sehingga jika dikembangkan dalam skala besar nanti mampu memasok pasar tersegmen. Bisa masuk mall atau supermarket serta toko modern yang lain.
Dirinya juga berniat akan membangun sinergi antara Kampus UNY Gunungkidul dengan kegiatan perkebunan yang dirintis Wiyono. Tidak menutup kemungkinan juga dengan warga lain yang memiliki kegiatan ekonomi kreatif dan tentunya linier atau bersinggungan dengan prodi di sekolah vokasi UNY Gunungkidul.
“Kami memiliki prodi tata boga serta agrobisnis. Nanti dapat bersinergi baik dalam penanaman dan pemanfaatannya. Hal ini juga selaras dengan program kampus desa yang kami canangkan, dimana kampus bersinergi dengan desa membangun bersama-sama,” tukas dia.
Saat hadir dirinya berkesempatan meresmikan kebun ‘cerdas air’ sebagai Pusat Pelatihan Pertanian Pemanfaatan Pekarangan Perdesaan Dan Perkotaan (P7). (Kandar)