PLAYEN,(KH) — Tanaman Nyamplung (Calophyllum Inopphyllum) digadang pemerintah untuk mengatasi krisis energi dunia. Tanaman ini dikembangkan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemulihan Tanaman Hutan ( BBPBPTH) Yogyakarta sebagai Bahan Bakar Nabati (BBN).
Peneliti Utama BBPBPTH Yogyakarta Budi Leksono mengatakan, tanaman nyamplung sangat potensial memenuhi target produksi biofuel pada tahun 2025 sebesar 5% dari total kebutuhan energi minyak nasional.
“Melihat kebutuhan tersebut, kita terus melakukan penelitian secara intensif, termasuk mempersiapkan sumber benih unggul dari populasi yang mempunyai rendemen minyak tinggi ini,” papar Budi usai melakukan penanaman bibit nyamplung di RPH Gubug Rubuh, Playen, Kamis (7/5/2015).
Dijelaskannya, nyamplung merupakan tanaman asli Indonesia yang banyak dijumpai hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama daerah pesisir pantai sampai ketinggian 200 mdpl. Di Kabupaten Gunungkidul, tanaman nyamplung dikembangkan pada lahan seluas 25 hektar.
Selain menghasilkan BBN, tanaman nyamplung berpotensi menghasilkan produk lain dari pemanfaatan limbahnya seperti briket arang, asap cair untuk pengawet kayu, bungli untuk pakan ternak, resin/getah untuk obat-obatan, pewarna tekstil, dan sabun.
“Rendemen minyak nyamplung tertinggi dari 6 populasi nyamplung di Jawa berasal dari Gunungkidul (50%) dan dari 12 populasi nyamplung di 7 pulau tertinggi dari Dompu (NTB) sebesar 58 %,” paparnya di depan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Bawono X.
Satu liter minyak nyamplung dapat dihasilkan dari 2-2,5 kg biji, sedangkan jarak pagar membutuhkan 4 kg untuk menghasilkan satu liter minyak. Tanaman nyamplung yang diolah menjadi biodiesel diharapkan mampu menyediakan energi non fosil di masa yang akan datang.
Dijelaskannya, penanaman nyamplung di Gunungkidul berada di area KPH Yogyakarta menggunakan 10.000 bibit di petak 74. Penanaman ditujukan untuk mensuplai bahan baku biodisel pada Unit Pengelolaan Bahan Bakar Nabati di “Baron Techno Park”
“Tujuan kita, tanaman nyamplung akan digunakan untuk menyuplai bahan baku biodisel di Baron Tekno Park. Tanaman ini berbuah setelah berumur 3-4 tahun. Buahnya akan dibawa ke Unit Pengelolaan Bahan Bakar Nabati di Baron Teckno Park sebagai bahan baku pembuatan biodisel,” paparnya.
Budi menjelaskan, apabila tanaman nyamplung ini dapat memenuhi kapasitas unit produksi pengolahan minyak nabati di Baron Techno Park sebesar 500 kg/batch, maka memerlukan bahan baku 1 ton biji kering atau 4 ton buah nyamplung agar dapat beroperasi setiap hari.
“Jadi kita memerlukan tanaman nyamplung seluas 100 – 125 ha. Pada tahun 2014 telah dilakukan penanaman nyamplung dari benih unggul seluas 25 ha, sehingga masih diperlukan perluasan tanaman 75-100 ha pada tahun berikutnya,” tambahnya.
Sementara Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Bawono X mengatakan, untuk mendukung program energi berkelanjutan tersebut, tanaman nyamplung akan dikembangkan di lahan seluas 100 hektar. Menurutnya program energi berkelanjutan ini sudah dicanangkan oleh pemerintah pusat.
“Saya memang sudah berkomunikasi dengan pemerintah pusat akan melaksanakan program energi berkelanjutan nonfosil. Kita berharap produksi buah dapat menyuplai kebutuhan di Baron Tekno Park,” ulasnya.
Sultan Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat ini khawatir, jika unit produksi pengolahan minyak nabati di Baron Techno Park tidak segera dioperasikan, mesin yang ada akan rusak. “Untuk itu kita berharap ada suplay buah nyamplung dari daerah lain yang sudah bisa dimanfaatkan,” tandasnya. (Juju)