WONOSARI, (KH),– Siang sudah menjelang sore, saat KH berkunjung ke Padukuhan Soka I, Kalurahan Wunung, Kapanewon Wonosari, Gunungkidul. Dengan diantar oleh Dukuh Soka I, Kasdi (33), KH mengunjungi lokasi Sendang Kemuning yang berada di belakang SD Negeri Soka. Masuk ke lokasi Sendang, suasana terasa sejuk, tiga pohon Resan besar yang berdiri, satu pohon Kepuh, Beringin dan Klampok, tampak angker menaungi lokasi sendang.
Kesejukan suasana langsung berubah saat mendekat ke lokasi sendang Kemuning. KH disambut bau busuk yang menyengat. Bau busuk ternyata berasal dari sebuah sungai kecil di samping sendang. Air yang mengaliri sungai kecil itu tampak berwarna hitam dan kotor. Air sendang yang tersisa sedikit juga sudah berbau sama.
Dari selatan sungai, suara mesin disel pengolahan pabrik Tahu terdengar menggema, dan air limbah sisa pengolahan tahu, memang dibuang dan diarahkan ke sungai. Melalui instalasi pralon-pralon yang diarahkan langsung ke sungai.
“Sudah lebih dari 5 tahun, sungai ini berbau busuk, dan air sendang juga mengalami hal yang sama,” terang Kasdi, Rabu (5/5/2021).
Air sungai yang tercemar, akhirnya merembes masuk ke sendang. Sehingga air sendang berbau. Kontaminasi tersebut logis sebab jarak antara aliran sungai dan sendag memang dekat, kurang dari 5 meter.
“Kemarin ada orang yang akan mengambil air sendang untuk suatu syarat kepentingan spritual atau pengobatan tapi tidak jadi karena mendapati air sendang sudah tercemar,” lanjut Kasdi.
Sendang Kemuning menurut cerita tutur merupakan sendang yang berumur tua. Bahkan menurut Mbah Slamet (63), salah seorang tetua Padukuhan Soka, keberadaan sendang erat kaitannya dengan sejarah awal atau cikal bakal Padukuhan Soka.
“Kyai Tunggul Wulung dipercaya sebagai cikal bakal dari wilayah Soka, dan cerita tutur yang saya terima, Kyai Tunggul Wulung ini, lebih tua dari Ki Ageng Giring,” cerita Mbah Slamet.
Menurut mbah Slamet, kawasan sendang Kemuning tersebut dulu pernah dibangun atau dipugar oleh pihak Keraton Yogyakarta.
“Yang saya ingat, bangunan sendang ini dibangun oleh Keraton Yogya, sekitar tahun 1951, dulu di “cungkup” bangunan ada tulisannya. Tapi sekarang sudah hilang,” terangnya.
Lokasi sendang Kemuning sendiri berada di perbatasan wilayah antara Padukuhan Soka dan Kalurahan Sodo. Sungai kecil itulah yang menjadi perbatasannya.
Akibat dari pembuangan limbah tahu tersebut, tidak hanya mencemari sungai kecil dan air sendang, tapi juga sangat dirasakan oleh anak-anak sekolah dan guru SD Negeri Soka.
Bau limbah yang menyengat membuat proses belajar anak-anak sekolah dasar juga terganggu. Lokasi SD N Soka memang berbatasan langsung dengan kawasan sendang Kemuning.
Sutini MPD, Kepala Sekolah SD Soka menyatakan bahwa keluhan bau menyengat ini sudah lama dikeluhkan oleh guru guru maupun murid.
“Sebelum Pandemi, saat masih proses belajar tatap muka, setiap hari dalam proses helajar mengajar, kami sangat terganggu dengan bau yang menyengat seperti ini,” ujar Sutini.
Dukuh Kasdi menambahkan, bahwa pencemaran ini sudah terjadi sejak tahun 2015, dan sampai saat ini belum ada solusi yang bisa ditempuh.
“Sehabis Lebaran, kita akan upayakan lagi, kabar bahwa sendang Kemuning tercemar sudah sampai ke Keraton Yogyakarta, dan katanya ada salah satu anggota keluarga Keraton yang akan datang ke Soka,” ujar Dukuh Kasdi.
Pihaknya berharap, masalah pencemaran ini bisa diselesaikan dengan tidak merugikan kedua pihak.
“Kami juga sadar bahwa pabrik tahu juga sebagai bentuk usaha ekonomi masyarakat Sodo, tapi kami juga tidak bisa terus menerus harus menerima buangan limbah yang mencemari air dan menimbulkan bau yang menyengat,” lanjut Kasdi.
Ke depan, Kasdi dan masyarakat Soka berharap solusi dari masalah bisa dibantu oleh pihak-pihak yang terkait, sehingga antara usaha ekonomi yang dijalankan bisa berlanjut, dan lingkungan sekitar juga tidak tercemar lagi. [Edi Padmo]