Sekilas Mengenai Umat Hindu Di Kecamatan Ngawen

oleh -3562 Dilihat
oleh
Pura Podo Wenang di Desa Kampung, salah satu pura di Kecamatan Ngawen. KH/ Kandar

NGAWEN, (KH)— Dari semua agama yang diakui oleh Negara, sebaran penduduk atau masyarakat penganut dari masing-masing agama tersebut ada di Gunungkidul. Bahkan selain Khonghucu, Budha, Hindu, Islam, Kristen dan Katholik terdapat pula masyarakat yang menganut aliran kepercayaan tertentu.

Menilik jumlah penganut salah satu agama yang ada, Hindu merupakan agama yang dianut terbesar ke empat setelah Islam, Kristen, dan Katholik. Berdasar data yang dilansir Biro tata pemerintahan (Tapem) DIY, data awal 2016 ini terdapat 1.140 penganut agama Hindu di seluruh Gunungkidul.

Dari keseluruhan penganut, jumlah terbanyak berada di Kecamatan Ngawen, Gunungkidul. di wilayah ini berdasar sumber yang sama ada 700 penganut. Dengan adanya jumlah penganut terbanyak diikuti pula jumlah tempat peribadatan/ tempat suci berupa Pura yang ada di wilayah kecamatan ini.

Berdasar penuturan Ganto, pemangku Pura Podo Wenang, yang berada di Padukuhan Kaliwaru, Desa Kampung, di Kecamatan Ngawen terdapat 6 Pura, yakni Ngesthi Beratha, Dharma Jati, Podo Wenang, Bhakti Widhi Dan Bhakti Dharma, dan Pura Ngelo.

Menurutnya pula, data jumlah penganut memiliki perbedaan mencolok jika dibanding dengan data Biro Tapem DIY, kata dia ada 3000 penganut di Kecamatan Ngawen. Dalam melaksanakan ajaran agama, terdapat peribadatan dan kegiatan antar sesama penganut yang sifatnya rutin harian, mingguan bulanan hingga peringatan hari besar dalam jangka waktu tahunan.

“Setiap sore ada persembahyangan, lalu setiap seminggu sekali ada kegiatan pemuda di komplek Pura,” tutur Ganto, Kamis, (23/9/2016).

Lanjutnya, sebelum perayaan Nyepi ada rangkaian peribadatan yang dilaksanakan, yakni Wanakerti setiap satu tahun sekali di Gunung Gambar, Melasti di Pantai Ngobaran, dan Tawur Agung di Prambanan barulah upacara Nyepi di rumah, lalu selepas itu ada upacara di Pura masing-masing yang disebut Ngembak Geni.

“Setelah keluar dari Nyepi, Ngembak Geni dilaksanakan dengan berkumpul di Pura pada pagi hari, lalu melaksanakan tradisi maaf-maafan, serta saling berkunjung ke rumah sesama umat layaknya tradisi Idul Fitri umat Muslim,” terangnya.

Setelah Nyepi ada pelaksanaan Dharmasanti atau pentas kesenian di lingkungan Pura. Berbagai kesenian ditampilkan ada Kethoprak, seni tari, dan Karawitan.

Menurutnya, masyarakat telah memiliki sikap toleransi yang baik di tengah perbedaan kepercayaan. Ia contohkan, dalam pelaksanakan tradisi Rasulan misalnya. Pada ritual doa bersama saat pelaksanaan kenduri di balai dusun diserahkan ke masing-masing pemuka agama.

“Selepas doa menggunakan bahasa jawa, dipersilahkan masing-masing penganut apabila ada yang ingin melanjutkan doa sesuai keyakinannya. Misalnya secara Islam atau Hindu,” imbuh Sutikno Pengelola Prasaman

Di padukuhan kaliwaru sendiri, lanjut Sutikno, jumlah penganut atau umat beragama terbagi menjadi dua hampir sama banyak, antara yang Muslim dengan Hindu. Sehingga sikap toleransi terus menerus diharapkan terjaga oleh warga dari kedua keyakinan.

“Terutama saat perayaan Nyepi, kami sangat berharap waraga lain agar tidak melakukan kegiatan yang mengganggu upacara. Demikian pula umat Hindu akan berupaya sebaliknya,” kata dia. Ia menilai kerukunan antar umat sangat baik, dalam pertemuan RT diselipkan pembahasan atau musyawarah terkait toleransi dan kerukunan.

Mengenai keberadaan awal umat Hindu di wilayah setempat, ia mengaku tidak cukup tahu mengenai jalan ceritanya. Dalam ingatannya, sekitar Tahun 1975 sebelum memiliki Pura atau tempat suci, persembahyangan dilaksanakan selalu berpindah dari rumah satu ke rumah warga lain setiap selasa malam.

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar