WONOSARI, kabarhandayani.– Gunungkidul merupakan daerah yang didominasi dengan batuan kapur. Batuan kapur tersebut dapat diolah dan dimanfaatkan sebagai material bangunan. Salah satunya adalah batu kapur atau dalam bahasa teknik bangunan disebut kapur tohor. Material ini berfungsi sebagai campuran bahan perekat material bangunan, bahan dasar industri portland cement, dan lain-lainya. Secara langsung, batu gamping juga dapat digunakan sebagai pewarna atau pelabur dinding dan sebagainya.
Pengolahan batu kapur membutuhkan proses yang panjang dan membutuhkan tenaga yang cukup ekstra berat. Salah satu pabrik batu kapur tradisional atau yang sering disebut dengan tobong gamping terletak di Padukuhan Tegalrejo Desa Gari Kecamatan Wonosari. Sesuai dengan SK Bupati Gunungkidul No. 88/KPTS/2010, melalui Disperindagkoptam lokasi ini dijadikan sebagai sentra industri atau kerajinan batu gamping di Gunungkidul.
Suparjan Purwosunoto, Penasehat Sentra Tobong Gamping Sedyo Rukun menjelaskan, tobong gamping di wilayah ini sudah ada, dan sudah berproduksi sejak tahun 1903. Hingga saat ini di Gunungkidul ada sekitar 36 tobong gamping. Hasil produksinya sudah didistribusikan ke seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Kamiyo karyawan tobong gamping tersebut menjelaskan, proses pembakaran batu gamping dimulai dari mengecilkan batu dengan cara di-thithik. Batu yang telah dikecilkan ukuran bongkahannya secara manual tersebut, kemudian ditata di dalam tobong yang memiliki panjang dan lebar 3 meter serta tinggi 4 meter. Selanjutnya batu dibakar selama 24 jam dengan kayu bakar dan ban bekas. Penggunaan ban bekas ini dimaksudkan untuk menyalakan dan mempercepat pembakaran. Setelah matang batu diambil dan dibuat serbuk menggunakan air selanjutnya di-packing. “Untuk mengolah 6 rit truk batu gamping membutuhkan waktu selama 1 minggu dari awal thithik sampai pengepakkan,” jelasnya.
Sebagai pengusaha tobong gamping kawakan, Suparlan memaparkan, bahan baku batu gamping yang diolah diperoleh dari Karangtengah dan Tepus dengan harga Rp 220.000,00 per rit truk. Sekali pengobongan atau pembakaran dapat mengolah sekitar 6 rit truk bahan baku dan menjadi sekitar 1.200 sak serbuk gamping dengan harga Rp 5.000,00 hingga Rp 16.000,00 per zak.
Suparlan menuturkan, pengerjaan pengolahan batu ini dikerjakan oleh 3 hingga 4 orang untuk 1 tobong dengan biaya operasional sekitar 1 hingga 1,5 juta. “Untuk mempersingkat waktu, terkadang saya menambah 3 orang dalam proses penataan, terlepas dari biaya operasional tersebut,” jelasnya.
Menurut Suparlan, jika proses pengobongan lancar, maka dalam satu bulan dapat membakar lebih dari 3 kali daur produksi. “Hanya saja terkendala pada bahan bakar, ada yang menggunakan minyak tanah, tetapi minyaknya mahal. Ada yang murah seperti batu bara, tetapi ditakutkan akan menimbulkan polusi di lingkungan maka dari itu kita menggunakan kayu bakar,” jelasnya mengakhiri percakapan. (Mutiya/Jjw).