TANJUNGSARI, (KH),– Desa Kemadang, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunungkidul merupakan kampung nelayan. Di wilayah yang memiliki Pantai Baron ini banyak dihuni masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan, atau menggeluti usaha yang berbasis pada sumber daya laut.
Perjalanan waktu membawa perubahan yang nyata bagi Desa Kemadang. Perkembangan ekonomi masyarakat jauh lebih pesat dibanding desa-desa lain di kawasan selatan Gunungkidul. Desa Kemadang dikenal oleh desa tetangga baik di lingkup Kecamatan Tanjungsari maupun di luar kecamatan diisi oleh keluarga yang mapan secara finansial. Keseriusan warga dalam menjalani profesi nelayan secara kolektif mampu mengangkat status sosial daerahnya.
Kondisi tersebut tak lepas dari perjuangan orang-orang yang sejak kecil telah menjadikan pantai menjadi rumah keduanya. Seperti halnya Sarno (45), sejak kelas tiga SD, merasakan deburan ombak merupakan hal yang biasa dalam kesehariannya. Tak hanya bermain-main di kawasan pantai Baron, sesekali dirinya juga diajak ayahnya yang berprofesi sebagai nelayan untuk ikut melaut.
“Umur 9 tahun ikut melaut untuk jarak yang dekat. Kemudian berani mengoperasikan kapal sendiri sekitar tahun 90-an,” ungkapnya saat ditemui di Pantai Baron, Senin, (25/6/2018). Bersama puluhan nelayan yang lain dirinya sedang melayani jasa penyeberangan bagi wisatawan melewati Sungai Baron menuju bibir pantai. Sebagaimana diketahui, sejak akhir tahun lalu daratan dan bibir Pantai Baron dipisahkan aliran sungai.
Melayani jasa penyeberangan dilakukan untuk mengisi kegiatan selama tidak melaut. Para nelayan terpaksa libur karena di laut lepas sedang terjadi musim angin timuran. Musim angin yang dihindari nelayan karena sangat berbahaya.
Menjadi nelayan selama lebih dari 25 tahunan menjadikan Sarno sebagai salah satu nelayan senior di Pantai Baron. Ia cakap dalam memprediksi gelombang dan angin laut. Kemampuan tersebut tak dimiliki nelayan generasi baru. Mereka tak lagi menggunakan ilmu titen. Melainkan mengandalkan prediksi cuaca yang dikeluarkan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
“Perkembangan teknologi yang semakin canggih lebih mempermudah, saat ini semua berpedoman prediksi dari BMKG,” tuturnya.
Lebih jauh disampaikan, jerih payah menggeluti profesi nelayan telah ia rasakan. Dari hasil melaut, dirinya mampu mengantarkan salah satu putranya masuk ke jenjang pendidikan perguruan tingggi. Tidak lama lagi anak pertamanya bersiap untuk wisuda.
Sebelum Sarno memutuskan menggeluti sepenuhnya profesi nelayan, ia dihadapkan pada dua permasalahan. Pertama, ia tak memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi untuk mencari pekerjaan. Kedua, jika ingin bertani dirinya dan orang tuanya tak memiliki lahan tanah garapan sama sekali.
Dari situ dirinya memutuskan mengikuti bapaknya sepenuhnya menjadi nelayan. Menurutnya, jika dihitung secara detail hasilnya memang lebih baik dibanding petani dengan lahan terbatas atau seukuran rata-rata yang dimiliki masyarakat pesisir selatan. Melihat hasil dari melaut jugalah yang mendorongnya memutuskan untuk menjadi nelayan.
Rutinitas menangkap ikan yang dijalani dipaparkan, saat cuaca mendukung, dalam satu bulan para nelayan Pantai Baron dapat melaut sebanyak kurang lebih 20 hari. Mereka berangkat pukul 04.00 WIB kemudian pulang pada tengah hari. Terkadang bisa pulang lebih awal atau lebih lama tergantung kondisi tangkapan dan jarak penjelajahan.
“Dalam satu kapal diisi dua hingga tiga nelayan. Bekal makan secukupnya dan bahan bakar 10 liter cukup untuk sekali melaut,” imbuh Sarno.
Agar dapat menutup biaya operasional, maka hasil ikan yang didapatkan paling tidak sebanyak 30 kilogram. Jika hasil banyak, hitung-hitungan matematis dari setiap hasil melaut saat ini sangat menguntungkan bagi nelayan. Sebab, saat ini banyak nelayan yang telah memiliki kapal sendiri. Periode sebelumya masih banyak nelayan yang bekerja pada pemilik kapal dari beberapa pengusaha perikanan dari Yogya dan Klaten.
“Ada 142 anggota paguyuban nelayan dengan jumlah kapal hampir 60-an. Dari keseluruhan kapal, 90 persennya merupakan milik nelayan lokal,” sambung Sarno.
Untuk memiliki kapal dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Satu kapal lengkap berikut alat tangkap ikan membutuhkan biaya pengadaan sekitar Rp. 80 juta. Untuk saat ini tak memungkinkan lagi ditambah jumlah kapal. Semua anggota paguyuban sepakat kapal jukung atau kapal motor mesin tempel di Pantai baron tak lebih dari 60 buah. Sebab panjang garis pantai Baron dikhawatirkan tak mampu menampungnya jika ditambah.
Sebagai nelayan ulung, risiko bekerja seolah tak lagi dihiraukan. Tentu saja asalkan standar keselamatan dipenuhi dan prediksi cuaca diketahui Sarno dan teman-temannya akan pergi melaut. Menggunakan kapal jukung ia biasa mengarungi samudra hingga 40 mill jauhnya ke arah selatan.
“Melaut jauh ke arah barat terkadang sampai ke perairan Purworejo, jika ke timur sampai ke Pacitan. Bekerja dimanapun ada risikonya, baik di darat maupun laut,” ungkap Sarno lagi.
Perolehan jumlah dan jenis ikan dipengaruhi musim ikan serta tempat kemana arah melaut. Jika ke arah timur hasil ikan didominasi jenis ikan pelagis atau perenang cepat seperti ikan tuna dan cakalan. Jika ke arah barat para nelayan akan membawa pulang jenis ikan perairan dangkal seperti bawal, tengiri, dan layur. (Kandar)