Profesor Sutrisna Wibawa dalam kunjungannya ke kelompok ternak tersebut, Selasa (06/07) siang, berkomitmen untuk mereplikasi peternakan terintegrasi seperti ini di Penjuru Gunungkidul.
“Inilah contoh konkrit dari pendampingan Kampus Desa untuk dunia peternakan, dan pembangunan peternakan terintegrasi. Harapan Baru Gunungkidul Maju, dimulai dari pengelolaan peternakan yang cerdas seperti ini. Kita akan kembangkan peternakan model Purbaya, di penjuru Gunungkidul,” ungkap Sutrisna didampingi Ketua Kelompok Ternak Purbaya, Pardiyo, dan Tokoh Hukum Gunungkidul, Sukardi SH.
Konsep Peternakan Komunal
Peternakan terintegrasi bukan berarti ternaknya dimiliki segelintir orang saja. Di kelompok ternak Purbaya, seluruh anggota memiliki kambingnya masing-masing. Akan tetapi, mereka tidak perlu memiliki kandang sendiri-sendiri.
Kolaborasi kemudian dilakukan dalam hal perawatan dan pengolahan. Peternak bergantian menjaga kambing dengan sistem piket. Tak jarang, mereka juga bergiliran membantu dalam pembuatan produk turunan.
“Kandangnya bergabung menjadi satu, tapi kambingnya milik sendiri-sendiri. Ini efisien,” ujar Sutrisna.
Petani Lebih Untung
Harga jual susu segar di tingkat peternak lokal umumnya hanya berkisar Rp 4.500 – 5.000 per liter. Dengan mengembangkan jenis ternak yang berbeda saja, yaitu kambing etawa, Sutrisna menyampaikan bahwa harga susu segarnya bisa melonjak menjadi Rp 40.000 per liter.
Susu ini selain dijual mentah untuk diolah industri, juga diolah sendiri untuk produk turunan. “Dodol cokelat, dijual 13 ribu per bungkus. Padahal menggunakan susunya hanya sedikit. Bayangkan satu liter susu harganya Rp 5 ribu, diolah satu gelas saja jadi dodol harganya hampir tiga kali lipat. Inilah hasil dari peternakan terintegrasi, membuat produk turunan. Petani jadi lebih untung,” imbuh Sutrisna.
Tidak hanya hasil susunya yang menghasilkan. Kotoran dan urine pun menghasilkan pundi-pundi uang untuk masyarakat. Baik itu dikelola sebagai pupuk, maupun dijual langsung dengan masing-masing sekitar harga Rp 20.000/karung ukuran 10 kg serta Rp 2.000/liter.
“Bahkan kotoran dan urine pun, kalau diolah dan dikumpulkan, bisa bermanfaat,” imbuh Sutrisna.
Keuntungan kemudian bertambah dengan dikelolanya peternakan tersebut sebagai lokasi wisata. Turis yang berdatangan akan membeli produk, menikmati kuliner, sekaligus mempopulerkan destinasi tersebut.
“Jadi konsep eduwisata berbasis pertanian, mereka yang datang beli produk dan menggairahkan ekonomi sekitar,” imbuh Sutrisna.
Strategi Pengembangan
Melalui misi Gunungkidul Kreatif, Profesor Sutrisna Wibawa dan Mahmud Ardi Widanto SIP kala memimpin Gunungkidul kelak memiliki program unggulan berupa: 1) Ekonomi Kreatif Berbasis Teknologi, 2) Inkubator Bisnis Berbasis Desa, dan 3) Gerakan Petani Milenial.
Lewat program ini, peternak akan dibimbing mulai dari hulu hingga hilir. Dengan cara dibuatkan kelompoknya, dibina, diberi insentif untuk bekal awal, dilatih cara beternak dan mengolah, hingga dibantu memasarkan lewat media-media baru seperti online dan eduwisata.
“Semua akan terlibat dalam program unggulan pertanian dan peternakan, sehingga semua dapat membangun ketahanan pangan, sekaligus menikmati keuntungan di sektor ini. Karena menurut data statistik, pertanian adalah satu-satunya sektor yang justru meningkat pendapatannya di masa Pandemi ini,” pungkas Sutrisna. (Red/Adv)