PANGGANG, (KH)— Dua keturunan Brawijaya V, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring III dalam rangka melaksanakan petunjuk Sunan Kalijaga berkelana mengunjungi tempat yang sekarang disebut Gunungkidul.
Ki Bagus Kacung, nama muda Ki Ageng Pemanahan menempati lokasi yang sebutan awalnya Kembang Semampir. Pertapan yang selanjutnya akrab disebut Kembang Lampir merupakan tempat semedi, tapa atau laku prihatin Ki Ageng Pemanahan saat mencari petunjuk mengenai wahyu keraton.
Sementara Ki Ageng Giring III menempati tempat yang sekarang menjadi Desa Sodo, Kecamatan Paliyan. Meski berlainan tempat, keduannya mendapat petunjuk bahwa wahyu keraton terdapat di sebuah kelapa muda/ degan dengan sebutan Gagak Emprit dari pohon kelapa yang ditanam Ki Ageng Giring III.
Singkatnya, Ki Ageng Pemanahanlah yang meminum degan tersebut, maka keturunan dialah yang bertahta menjadi raja Kerajaan Mataram yang ia dirikan. Setelah keturunan ke-7, sesuai kesepakatan keduanya, barulah raja berikutnya berasal dari keturunan Ki Ageng Giring III.
Pertapan dijaga tiga juru kunci, yakni Surakso Sekarsari, Surakso Cempakasari, dan Surakso Puspitasari. Begitu dianggap penting oleh pihak keraton, sehingga pada tahun 1971-1977 (alm) Sri Sultan Hamengku Buwono IX melakukan pemugaran.
Tempat sejuk penuh ketenangan ini berada di Padukuhan Blimbing, Desa Girisekar, Kecamatan Panggang. Sekitar 1 km dari jalan raya Saptosari- Panggang. Jalan menuju pertapan telah beraspal. Pertapan menempati sebuah bukit, sehingga untuk ke tempat utama pengunjung harus naik anak tangga hingga sampai ke puncak.
“Tempat ini sangat disakralkan, sesuai pesan kraton, pengunjung tidak sembarangan bisa naik, ada beberapa peraturan yang harus ditaati,” kata salah satu juru kunci, Surakso Sekarsari atau nama aslinya Trisno Sumarto beberapa waktu lalu.
Beberapa larangan diantaranya, saat naik pengunjung tidak boleh memakai alas kaki atau sandal, tidak boleh mengambil gambar atau memotret di lokasi utama. Hanya diperbolehkan dari luar pintu gerbang atau dari bawah saja. Pengunjung yang akan naik maka harus membawa bunga dan dupa/ kemenyan serta tidak boleh memakai pakaian berwarna ungu terong dan hijau lumut.
“Yang jelas aturannya seperti itu, kalau warna baju itu mungkin supaya tidak sama dengan yang menjaga Pantai Parang Kusumo/ laut selatan,” ungkapnya tidak begitu yakin.
Ia tidak begitu banyak tahu terkait cerita mengenai Ki Ageng Pemanahan, ia mengaku hanya sebagai abdi dalem yang menjaga dan merawat pertapaan menggantikan kaket buyutnya. Yang ia tahu, Ki Ageng Pemanahan merupakan tokoh yang mendirikan kerajaan di sebuah alas yang sebelumnya disebut Mentaok. Tempat peristirahatan terakhir atau makam tokoh besar itu berada di Kota Gede.
Ia menuturkan, pembangunan pertapaan Kembang Lampir dilanjutkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X, sehingga beberapa fasilitas disediakan. Ada tempat istirahat para juru kunci dan fasiltas lainnya seperti WC, kamar mandi, serta dapur. Terdapat pula bangunan lawas bekas tempat tinggal juru kunci pertama.
Lelaki ramah ini menyebutkan, waktu kunjungan tidak sama seperti pada tempat serupa secara umum lainnya. Artinya, tidak melulu pada malam Selasa Kliwon atau Jum’at kliwon saja, tetapi meski tidak bertepatan dengan hari-hari tersebut, terkadang pernah lebih ramai.
Begitu hening dan nyamannya suasana di area pertapan memang layak digunakan untuk menyendiri. Pengunjung yang datang memperoleh ketenangan. Merasakan lembutnya desiran angin, menyatu dengan alam. Tak ayal, perkembangannya banyak orang mempercayai dan memanfaatkan lokasi ini juga untuk berdoa, menyendiri, sementara waktu meninggalkan hiruk pikuk aktivitas, mengevaluasi diri, atau juga bertapa. Seperti kata si juru kunci, menjalani laku prihatin melatih kesabaran berfikir dan olah batin.