WONOSARI, (KH),– Fenomena perayaan Idul Fitri di Gunungkidul selalu diikuti arus urbanisasi ratusan bahkan ribuan anak-anak muda. Mereka melakukan hijrah, meninggalkan kampung halaman menuju ke kota-kota besar. Berbagai alasan dan faktor pendorong yang menjadi latar belakangnya. Ada yang mau bekerja sesuai apa yang diidamkan dan latar belakang pendidikannya. Ada yang ingin bekerja apa saja demi perbaikan “nasib” hidupnya. Ada yang ingin mencari pengalaman hidup di perkotaan untuk kemudian nanti kembali hidup di desa. Tentunya masih banyak alasan dan latar belakangnya. Baca: Arus Balik Gondol Ribuan Pencari Kerja.
Berkarya di manapun, menjadi perantau atau tetap berkarya di desa memang dilindungi oleh UUD 1945 dan amandemennya. Setiap warga negara memang berhak atas kehidupan yang layak. Oleh karena itu, merantau atau tidak merantau adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan masyarakat, dan juga kehidupan berbangsa dan bernegara. Menjadi perantau atau bukan perantau sesungguhnya juga tidak menghalangi kiprah dan prestasi setiap warga negara dalam mendharmabaktikan hidupnya buat keluarga, buat desa kelahirannya, dan tentunya buat bangsa dan negaranya. Baca: Merantau atau Berkarya di Desa?
Toh setiap tahun, lebih khusus lagi pada saat perayaan Idul Fitri, para perantau ini juga kembali pulang ke tanah kelahirannya. Mereka bersilaturahmi dengan keluarga dan sanak-saudaranya. Diluar bersilaturahmi, dengan segala potensi yang dimilikinya, para perantau sebenarnya juga turut terlibat dalam pembangunan di desanya masing-masing. Entah itu diwujudkan dalam membangun rumah kediaman keluarganya, membangun jalan cor blok beton, membangun mesjid atau tempat ibadah lainnya, merenovasi dan melestarikan tuk atau belik atau sendang.
Diluar pembangunan fisik, mereka juga memberikan santunan anak yatim, janda dan keluarga kurang mampu, menularkan keahlian dan ketrampilannya kepada sanak saudaranya. Dan yang tidak kalah penting adalah, secara langsung mereka para perantau yang mudik sejatinya juga menjadi agen penarik tenaga kerja entah di insitusi pemerintahan maupun di sektor swasta. Ada banyak fenomena sanak saudara diajak bekerja di kantornya, di proyek yang sedang dikerjakannya, dititipkan magang di kantor atau proyek kenalannya. Ada yang diajak dan dibimbing bekerja mandiri sebagai wirausaha, juga diajak berjuang menjadi pekerja sektor informal yang tangguh, dan lain sebagainya. Itulah peran positif terbesar dari para perantau. Dengan semangat paseduluran dan sangkul sinangkul ing bot repot, mereka menarik sanak saudara untuk berkarya hidup di perkotaan.
Slamet Harjo SPd MM, anggota DPRD DIY dari Fraksi Golkar memberikan catatan khusus terhadap fenomena mudik dan urbanisasi paska perayaan Idul Fitri di Gunungkidul khususnya dan DIY secara umum. Para perantau yang mudik itu beragam latar belakang status sosial, ekonomi, dan lain-lainnya, maka Slamet menaruh harapan besar kepada para pemudik yang mapan secara ekonomi dan sosial untuk berperan lebih besar dan bersinergi dalam membangun daerah, utamanya adalah desa tempat asalnya. Ada 5 hal yang diharapkan dari para perantau yang mudik ke desa asalnya.
Pertama, ke depan, perantau yang mudik sebaiknya terkonsolidasi yang baik dari sisi persiapan kepulangan, di perjalanan, dan setelah sampai di kampung halaman, serta rencana acara atau kegiatannya selama di kampung halaman. Konsolidasi yang baik tentu akan memudahkan dan melancarkan semua kegiatan dapat terlaksana dengan baik.
Kedua, bagi pemudik yang berstatus pejabat atau pegawai di lingkungan lembaga negara, kementerian, juga BUMN diharapkan dapat bersinergi dengan pemerintah daerah. Karena itu diperlukan forum silaturahmi sehingga dapat saling memberikan informasi dan program kegiatan masing-masing, sehingga dapat terimplementasikan baik di pusat maupun di daerah.
Ketiga, bagi pemudik yang berstatus pengusaha dan lainnya dapat memerankan diri sebagai marketing yang handal terhadap produk-produk daerah baik berupa barang dan jasa. Misalnya: hasil industri kerajinan, kepariwisataan, jasa tenaga kerja terampil, dan sebagainya.
Keempat, pemudik sebenarnya mampu menjadi sponsor utama kegiatan pembangunan perdesaan, baik dalam bentuk pemikiran, material, maupun SDM yang dimilikinya.
Kelima, pemudik lebih didorong membelanjakan uangnya di pasar-pasar tradisional di wilayahnya masing-masing, bukan di supermarket, mall atau toko modern. Membelanjakan uangnya di pasar tradisional secara langsung akan menggerakkan ekonomi rakyat di wilayahnya menjadi lebih hidup dan berkembang.
Slamet tidak menampik bahwa lapangan kerja di perdesaan memang masih terbatas pertumbuhannya. Karena itu fenomena pemudik mengajak sanak saudaranya menjadi perantau bagaimanapun juga masih menjadi sesuatu yang aktual. Anak-anak muda lulusan SMA/SMK atau perguruan tinggi yang tidak terserap dalam lapangan pekerjaan yang ada di daerah dan perdesaan, mau tidak mau mesti meninggalkan desanya untuk dapat bekerja dan mengaktualisasikan dirinya secara layak.
Terkait dengan hal tersebut, Slamet menaruh harapan besar dengan UU Desa dan Dana Desa yang telah digulirkan akan dapat menjadi perintis meningkatnya kesempatan kerja di wilayah perdesaan. Menurutnya, desa (baca: Pemerintah Desa) ditantang dapat menekan urbanisasi dengan memanfaatkan dana desa.Tahun 2016 ini terdapat Rp 103,56 milyar Anggaran Dana Desa yang terbagi tersalur ke 144 Desa di Kabupaten Gunungkidul. Jika dirata-rata, setiap desa mendapatkan anggaran sebesar kurang lebih Rp 700-800 juta. Kreativitas pemerintah desa tentu sangat menentukan pemanfaatan dan efek ikutan dari dana desa tersebut.
Masih menurut Slamet, sinergi antara warga perantau dan warga yang tetap tinggal di desa sangat diperlukan. Adanya dana desa tersebut dan kebiasaan yang telah berjalan para perantau dalam turut membangun desa dapat menjadi modal utama membangun desa yang memberikan manfaat dan kemaslahatan sebesar-besarnya bagi warga desa. Menurutnya, Pemkab Gunungkidul dan Pemda DIY memang belum optimal dalam melakukan sinergi antara warga perantau dan warga di desa serta unsur pemerintah daerah.
“Pemda DIY memang telah memiliki Kanperda (Kantor Perwakilan Daerah) di Menteng Jakarta Pusat dan di Jl Pedati Matraman, tetapi upaya merangkul warga perantau dan mensinergikan paguyuban-paguyuban perantau belum optimal, ujar Slamet kepada KH. Ke depan, ia berharap potensi perantau sebagai salah satu agen pembangunan dan upaya mbangun desa bersama warga yang tinggal di desa dan unsur pemerintah daerah dapat lebih terbangun. Karena itu ia juga mendorong agar Pemkab Gunungkidul segera memiliki Kanperda di Jakarta, agar sinergi mbangun desa dengan para perantau melalui paguyuban-paguyuban yang ada dapat lebih terkoordinir. (Jjw).