Peluncuran dan Diskusi Buku “Jogja dalam Rentang Kisah”

oleh -783 Dilihat
oleh
LPM Arena dan dan Sanggar Nuun menyelenggarakan peluncuran dan diskusi buku “Jogja dalam Rentang Kisah: Fiksi, Esai, dan Misteri”. (istimewa)

YOGYA, (KH),– Jogja merupakan kota yang penuh dengan cerita. Tak hanya tentang budaya, pendidikan, dan seninya, tapi juga kondisi sosial dan misteri yang dimilikinya. Mengusung benang merah yang sama bertemakan “Jogja”, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Arena yang bergerak di ranah jurnalisme, dan Sanggar Nuun yang berfokus pada aktivitas-aktivitas kesenian berkolaborasi menggelar peluncuran dan diskusi buku “Jogja dalam Rentang Kisah: Fiksi, Esai, dan Misteri”.

Acara ini menghadirkan tiga penulis yang akan saling mengulas karya satu sama lain. Mereka adalah Isma Swastiningrum (Penulis Novel Kaki Lima), Jevi Adhi Nugraha (Penulis Buku Menanam Hantu di Bukit Batu), dan K.A. Sulkhan (Penulis Novel Kronik Pembunuhan Selma). Agenda ini terbuka untuk di Gelanggang Eska, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pada Minggu (8/12/2024) pukul 13.00 WIB s.d. selesai.

Buku-buku yang akan dibahas ini memotret dan mendialogkan dinamika sosial Jogja dengan perspektif yang beragam. Dalam novel Kaki Lima, Jogja tidak dinarasikan sebagai kota wisata yang melulu romantis, melainkan juga ruang tempat orang-orang marjinal, seperti Pedagang Kaki Lima (PKL), berjuang untuk mempertahankan hidup dan mempertahankan eksistensi mereka. Novel ini secara garis besar mengangkat tentang tema sektor informal di perkotaan. Alurnya menggambarkan bagaimana kehidupan PKL khususnya di Jogja bertahan hidup, dan bagaimana para mahasiswa mengambil peran terkait isu tersebut. Di mana PKL selama ini seringkali dianggap ‘mengganggu’ tata kota. Ketika ruang kota terus mendesak sektor informal, sekelompok mahasiswa di Jogja menemukan makna solidaritas dengan pedagang kaki lima, membuka mata mereka pada perjuangan hidup yang sering terpinggirkan. Mahasiswa tidak hanya menjadi saksi, tetapi juga bagian dari solusi atau dinamika perubahan. Solidaritas dan empati sebagai jalan untuk memahami kompleksitas kehidupan urban.

Sementara Menanam Hantu di Bukit Batu akan menyuguhkan warta gelap tentang Gunungkidul. Buku berisi reportase dan catatan ini mengulik isu sosial dan lingkungan dari salah satu kabupaten di Provinsi Yogyakarta yang terkenal akan pantai-pantai dan cerita-cerita mistiknya itu. Selain itu, buku ini menyoal sisi lain Gunungkidul yang luput dari pemberitaan media mainstream hari ini. Banyak unsur lokalitas dan masalah-masalah sosial di tanah kelahiran penulis kurang mendapat perhatian secara serius. Akhirnya, yang muncul hanya pemberitaan sensasional yang berumur pendek dan kurang menyentuh akar rumput. Keresahan-keresahan tersebut yang akhirnya melatarbelakangi lahirnya tulisan-tulisan di dalam buku ini. Lewat catatan sederhana ini pula menjadi upaya penulis untuk mengenal lebih dekat lagi dengan kampung halaman yang kini mulai mengalami banyak perubahan. Isu-isu lingkungan dan masalah sosial di Bumi Handayani menjadi tema besar buku ini.

Terakhir, Kronik Pembunuhan Selma, novel coming of age yang membicarakan problematika anak-anak muda urban dan krisis subjektivitas mereka. Dalam novel ini, Jogja menjadi latar tempat para pemuda itu dalam menjawab tantangan krisis subjektivitas di tengah modernitas. Dalam pergulatan dan pandangan para tokohnya, pembaca akan diajak untuk merenungi kesulitan mereka dalam memahami sekaligus mendefinisikan identitas, nilai-nilai, dan pandangan terhadap dunia. Novel ini memadukan cerita misteri dengan eksplorasi psikologi karakter yang kuat. Penulis menyelami psikologi para tokoh yang kompleks, menunjukkan bagaimana trauma dan rahasia masa lalu memengaruhi tindakan mereka. Seiring penyelidikan berjalan, lapisan demi lapisan rahasia mulai terungkap, menggambarkan sisi gelap manusia akan pergulatan diri para karakter di era modern seperti sekarang ini.

Dalam acara tersebut, ketiga penulis buku akan membahas karya satu sama lain dengan perspektif masing-masing. Selain diskusi dan peluncuran buku, acara juga akan dimeriahkan oleh penampailan NunTone dari Sanggar Nuun dan kemudian ditutup dengan makan bersama sebagai bentuk syukuran atas terbitnya ketiga buku yang dibahas. Untuk informasi lebih lanjut bisa menghubungi direct message Instagram @lpmarena dan @sanggarnuun.

Melalui sambungan seluler, Pimpinan Redaksi Arena Maria Al-Zahra menyampaikan, ada beberapa alasan diskusi buku yang memotret Yogya dengan sudut pandang masing-masing penulis layak digelar. Pertama, karena isunya sangat dekat, yaitu mengangkat permasalahan di Jogja. Kedua agar kalangan mahasiswa bisa lebih peka terhadap lingkungan-nya.

“Seperti misalnya yang ada di buku Kaki Lima, itu kan latarnya di Jalan Mataram, di Malioboro dan di Altar. Ternyata tempat-tempat itu bukan sekedar tempat jalan-jalan atau healing. Tapi tempat Kaum Miskin Kota (KMK) menggantungkan hidup. Itu juga sama yang di bukunya mas Jevi, soalnya teman-teman Saya sendiri melihat Gunungkidul ya sebatas tempat main air, tempat buat foto-foto. Teman-teman nggak sadar kalau ternyata di situ ada konflik yang mengancam warga asli,” beberMaria.

Lantas ke-tiga, sambungnya, agar isu soal penggusuran lahan, Pedagang Kaki Lima (PKL), konflik pertanahan dan lain-lain bisa dipahami dengan mudah oleh mahasiswa.

“Kan, biasanya isu berat seperti ini dibawa dalam diskusi, konsolidasi, atau seminar. Nah, ini dari buku novel dan esai yang cukup ringan tapi tetap berisi,” imbuhnya.

Dia mengajak siapapun untuk hadir. Sambil bersantai ngobrol perihal Jogja tetapi dari sisi paling kecil yang jarang orang lihat. Selain dikemas secara santai peluncuran dan diskusi juga diwarnai hiburan.

“Bisa jadi, dari diskusi ini nanti temen-teman bakalan ngelihat Pantai Indrayanti dengan kacamata yang berbeda. Bakalan melihat Malioboro, Jalan Mataram sampai Kota Gede dengan sudut pandang yang baru. Karena Jogja memang penuh cerita, jadi mari berbagi cerita di Minggu siang yang akan datang,” ajak Maria. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar