PURWOSARI, (KH)— Memiliki kondisi fisik tidak sempurna tak membuatnya terus berkeluh kesah, berjalan dengan mengandalkan kekuatan satu tangannya dilakukannya setiap kali beraktivitas. Adalah Joko Suwarjono, lelaki kelahiran 31 Desember 1983 di Purwosari yang menyandang disabilitas sejak lahir.
Pandangan matanya seakan hanya sebatas ruangan rumahnya. Untuk tahu kondisi halaman dan pekarangan sehari-hari hanya dapat ia lakukan dari dalam rumah saja. Apabila sesekali keluar rumah, itu mesti ia lakukan dengan berjuang keras dengan cara ngesot atau berpindah pelan-pelan dengan cara menggeret pinggulnya.
Ketidaksempurnaan kondisi fisik tak menyurutkan niat Joko untuk dapat menjalankan aktivitas hidup seperti orang lain pada umumnya. Saat ditemui di rumah, dengan terbuka ia menceritakan kisahnya. Cerita Joko dimulai saat dirinya hanya tinggal dengan sang ayah karena ibu kandung telah tiada, sedangkan saudara yang lain telah berkeluarga dan telah mandiri di rumahnya masing-masing.
“Meski kondisi seperti ini, saya kepingin hidup lumrah seperti orang lain,” katanya mengawali perbincangan, Sabtu, (18/4/2015). Ia sadar, mungkin banyak yang bilang agak aneh, atau bisa saja terharu jika tahu dengan keinginannya. Satu hal yang sering membebani pikirannya, Joko tak ingin bergantung terus pada orang tua.
Ia berfikir jauh ke depan, saat masa tua nanti siapa yang akan merawat dirinya, usia sang bapak yang semakin lanjut dipastikan tak mampu untuk terus diandalkan menjadi pahlawan bagi dirinya. Joko mengakui, jangankan orang lain, ayahnya sendiri sempat kaget mendengar keinginannya yang berniat menikah.Pertanyaan besar bagi sang ayah, dilihat dari fisiknya apakah ada yang bersedia mendampingi hidupnya?
Seperti ungkapan tidak ada yang tidak mungkin, bisa saja kuasa Tuhan mengabulkan doanya. Berawal nomor ponsel yang nyasar, ia dipertemukan dengan seorang gadis yang bersedia membangun rumah tangga bersamanya.
Dari tempat tinggalnya di Desa Karangasem, Paliyan, Joko diantar saudaranya menemui perempuan yang dikenalnya melalui handphone itu menuju Padukuhan Karangnongko, Desa Giripurwo, Kecamatan Purwosari. Tak butuh waktu lama, sejak pertemuan pertama mereka melangsungkan pernikahan. Dirinya ingat, ketika akad nikah berlangsung, banyak saudara dan tamu yang hadir meneteskan air mata haru.
Kini, bersama Sutarmi, ia dikaruniai seorang buah hati yang lucu. Meski sama-sama sebagai penyandang disabilitas, keduanya tampak saling melengkapi. Tinggal di rumah mertuanya, Joko mengasuh Asifah Septiani anaknya. Pikirannya kembali terusik ketika statusnya sebagai kepala keluarga belum mampu menjadi penopang tegaknya perekonomian keluarga.
“Sebenarnya kepingin sekali mandiri, terus-terusan mengandalkan orang tua mau sampai kapan, susah bagi saya mendapat pekerjaan,” akunya.
Sertifikat dari yayasan yang memberikan pelatihan ketrampilan yang pernah ditempuhnya selama setahun di wilayah Bantul belum memuluskan kemampuannya untuk mendapatkan rezeki. Joko menceritakan, ketrampilannya membuat tas, dompet, ikat pinggang, serta kemampuan elektronik mengalami banyak kendala.
“Setelah lulus pelatihan dibantu mesin jahit, tetapi jarang terpakai, saya tidak ada modal membeli bahan baku. Sedikit ilmu kemampuan service elektro yang saya curi dari saudara kurang mendapat kepercayaan dari pelanggan,” jelasnya.
Siang itu, Joko bersama istri dan anaknya di rumah, sementara seperti hari biasa mertuanya pergi ke ladang. Sang istri tak banyak bicara, hanya sesekali mengiyakan apa yang diucapkan Joko. Dengan meneteskan airmata, ia berharap penuh, ada pihak yang mau peduli dan memperhatikannya, memberikan pekerjaan sesuai kemampuan dan ketrampilannya agar bisa mewujudkan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga.
“Saya tidak bisa kemana-mana, saya bersedia dicarikan pekerjaan apapun yang penting saya mampu mengerjakan. Kalau wirausaha sendiri selain kendala modal, kesulitan lain dalam memasarkan, pokoknya saya ingin mandiri,” ujarnya dengan penuh harap. (Kandar)