Menerima Kenyataan, Mencegah Sindrom Post Election Stress Disorder (Stress Pasca Pemilu)

oleh -
Ilustrasi. sumber: intenet.

 GUNUNGKIDUL, (KH),– Pemilu tahun 2019, terdapat 245.106 caleg DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, yang memperebutkan 10 persen kursi. Artinya sekitar 200.000-an caleg gagal dalam pemilu. Tidak ada yang dapat memprediksi berapa jumlah caleg gagal yang mengalami stress atau gangguan kesehatan mental lainnya. Berkaca pada Pemilu tahun 2009, sebanyak 7.376 caleg menjadi stres lantaran gagal menjadi anggota dewan. Menurut data dari Kementerian Kesehatan, caleg stres untuk DPR RI sebanyak 49 orang, DPRD I sebanyak 496 orang, DPD sebanyak 4 orang, dan caleg DPRD II sebanyak 6.827. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan dapat terulang di tahun 2019. Namun demikian, Kementrian Kesehatan sudah siap siaga melakukan pertolongan bagi caleg gagal dalam pemilu 2019.

Stress pasca pemilu, atau baru-baru ini dikenal dengan istilah Post Election Stress Disorder (PESD) memang belum terdaftar menjadi salah satu gangguan mental pada Buku Diagnosis Gangguan Mental berdasarkan DSM V. Akan tetapi fenomena tersebut sudah terjadi di Amerika pasca pemilu 2016. Beberapa ciri PESD ditandai dengan merasa cemas, tidak bisa tidur, mudah marah, putus asa, menghindari kontak sosial, dan kembali munculnya pengalaman traumatik masa lalu. Keluhan yang muncul misalnya, “saya tidak bisa tidur 2 hari ini”; “saya tidak bisa berhenti menangis”; “ Saya mimpi buruk”; “Saya tidak enak makan”.

Masalah muncul karena adanya jarak antara harapan dan kenyataan. Stress pasca pemilu dipicu oleh berbagai faktor, baik tekanan dari dalam diri maupun berasal dari tekanan lingkungan. Misalnya muncul perasaan malu, harga diri rendah, kekecewaan, perasaan gagal, putus asa, merasa kalah dan juga perasaan kesal karena ternyata usaha dan pengorbanan optimal yang dikeluarkan tidak membuahkan hasil. Baik itu pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, maupun kesehatan. Tidak sedikit caleg mengeluarkan modal pemilu dengan nominal yang terhitung banyak.

Menurut Kubler Ross & David Kessler dalam bukunya The Sixth Stage of Grief menjelaskan bahwa ada lima fase yang dialami manusia dalam konteks pengalaman duka. Artinya seseorang tidak bisa serta merta dapat menerima kenyataan dengan ikhlas legowo, melainkan perlu melalui beberapa fase psikologis, diantaranya:

Fase Pertama, Fase Penolakan/Penyangkalan. Pada tahap ini, kenyataan yang ada seperti tidak masuk akal. Tahap ini biasanya orang yang mengalami kesedihan tersebut masih merasa shock. Masih belum percaya bahwa ia mengalami pengalaman menyedihkan tersebut. “ini tidak mungki terjadi

Fase Kedua, Kemarahan. Pada fase ini seseorang akan merasa marah dan merasa yang terjadi itu tidak adil. Kemarahan dapat ditujukan pada diri sendiri maupun pada orang lain atau pada hal-hal tertentu. “ini tidak adil terjadi pada saya

Fase Ketiga, Tawar Menawar. Seseorang akan melakukan apa saja untuk menghilangkan perasaan terlukanya. Ia akan bernegosiasi untuk mengurangi perasaan gagalnya. “andaikan saja saya,”

Fase Keempat, Kesedihan/depresi. Ini adalah puncak prosesnya. Seseorang dapat merasa sangat tidak berdaya dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berpindah ke fase berikutnya.

Fase Kelima, Penerimaan. Pada tahap ini seseorang dapat menerima kenyataan dengan ikhlas atas apa yang terjadi dan mulai membangun kembali hidupnya.

Orang terdekat, keluarga, tetangga, kerabat dan teman dan rekan caleg yang mengalami gagal pada Pileg 2019 memiliki kontribusi yang tinggi dalam menjaga kesehatan mental pasca peleg 2019. Dukungan dapat berupa dukungan emosional, kepedulian, semangat untuk menambah optimisme dan nasehat, sangat diperlukan caleg gagal pileg untuk menurunkan faktor resiko mengalami gangguan mental. Sebaliknya, ketiadaan dukungan dari orang-orang terdekat dapat meningkatkan faktor risiko bagi caleg untuk mengalami gangguan mental.

Selain dukungan dari lingkungan sekitar, caleg yang belum berhasil pada pileg 2019 ini juga perlu melakukan perawatan diri (self-caring) pada kesehatan mentalnya. Ia perlu jujur pada diri sendiri atas kenyataan yang terjadi, memberi ruang pada diri sendiri untuk merasakan kesedihan, berkomitmen untuk mengambil hikmah dan pelajaran dari kegagalan ini dan kemauan untuk berubah, yaitu meninggalkan pengalaman terpuruk dan bangkit kembali. Seperti kata Mahatma Gandhi, “ Berubahlah maka kamu bisa melihat kembali dunia”, maka seseorang harus beranjak dari keterpurukan dan melakukan hal baru dengan semangat baru.

***

Penulis:

Ardi Primasari, M.Psi.,Psikolog

Founder & Owner Prima Consultant (Personality & Community Development Center). Lahir di Paliyan, Gunungkidul. Psikolog dan Dosen Psikologi, Lulusan Magister Profesi Psikologi Klinis UGM, senang membaca, menulis, dan menyanyi.

Referensi:

Santrock, JW (2002) Life Span Development Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga

Kessler, David (2019) Finding Meaning: The Sixth Stage of Grief  (Diunduh: https://grief.com/sixth-stage-of-grief/)

Ernawati, J & Aria Bimo (2019) Sakit Jiwa Efek Pemilu (Diunduh: https://www.msn.com/id-id/kesehatan/health/sakit-jiwa-efek-pemilu/ar-BBW72Ho)

Detik. Health (2014) Antisipasi caleg Stress: Ini dia gangguan jiwa yang paling banyak dialami caleg usai pemilu (diunduh:https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-2549412/ini-dia-gangguan-jiwa-yang-paling-banyak-dialami-caleg-usai-pemilu)

Sweeton, J (2016) Post Election Stress Disorder in Woman. (diunduh: https://www.psychologytoday.com/us/blog/workings-well-being/201611/post-election-stress-disorder-in-women)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar