Melacak Kisah Bupati Pertama Gunungkidul

oleh -53315 Dilihat
oleh
Makam bupati Pontjodirjo. Foto : KH/Kandar

PONJONG, (KH) — Seperti yang diketahui secara umum, berdasar sejarah awal mula berdirinya Kabupaten Gunungkidul, bupati pertama dijabat oleh Mas Tumenggung Pontjodirjo. Perihal kisah ini terdapat beberapa versi terkait asal usul Mas Tumenggung Pontjodirjo.

Salah satu sumber menyebutkan, pada waktu itu Wonosari yang kemudian menjadi ibu kota Gunungkidul masih merupakan hutan belantara. Di wilayah pegunungan ini terdapat suatu desa yang dihuni beberapa orang pelarian Kerajaan Majapahit. Desa yang dipimpin oleh R Dewa Katong saudara Raja Brawijaya tersebut bernama Pongangan (lokasi saat ini di sekitar Karangmojo).

Setelah R Dewa Katong pindah ke Desa Katongan, 10 km di utara Pongangan, puteranya yang bernama R Suromejo membangun Desa Pongangan, sehingga semakin lama semakin ramai. Beberapa waktu kemudian, R Suromejo pindah ke Karangmojo. Perkembangan penduduk di daerah Gunungkidul itu didengar oleh raja Mataram Sunan Amangkurat Amral yang berkedudukan di Kartasura. Kemudian raja Mataram mengutus Senopati Ki Tumenggung Prawiropekso untuk membuktikan kebenaran berita tersebut. Setelah dinyatakan kebenarannya, Tumenggung Prawiropekso menasehati R Suromejo agar meminta ijin pada raja Mataram. Sebab, daerah tersebut masuk dalam wilayah kekuasaannya.

Menurut kisah tuturyang diperoleh, karena R Suromejo tidak mau, terjadilah peperangan yang mengakibatkan dia tewas. Begitu juga 2 anak dan menantunya. Tersisa Ki Pontjodirjo, yang merupakan anak R Suromejo, yang akhirnya menyerahkan diri. Berikutnya dikisahkan, Ki Pontjodirjo kemudian diangkat menjadi Bupati Gunungkidul yang pertama oleh Pangeran Sambernyawa. Catatan redaksi: Sumber cerita tutur ini nampaknya terdapat bias anakronisme waktu, karena pada tahun 1831 yang ditengarai sebagai tahun pengangkatan Pontjodirdjo, diketahui P Sambernyawa (Adipati Arya Mangkunegara I) sudah mangkat, dan posisinya digantikan oleh Pangeran Prangwedana yang bergelar Adipati Arya Mangkunegara II).

Sumber lain menyebutkan, Sukiman Siswa Suganda, sesepuh masyarakat Padukuhan Sanggrahan, Desa Umbulrejo, Kecamatan Ponjong, menganggap jika Tumenggung Pontjodirjo bukanlah anak R Suromejo. Menurutnya, cerita tentang tokoh R Suromejo terlalu lampau jika disebut sebagai ayah Pontjodirjo. Sesuai cerita tutur yang pernah diterimanya, rentang waktu eksistensi R Suromojo itu terjadi sewaktu wilayah Gunungkidul mayoritas masyarakatnya masih menganut agama Budha dan Hindu.

Seingat lelaki berumur 82 tahun ini, Pontjodirjo merupakan anak Ronggo Pontjo Jiwo asal Ngawen. Pontjodirjo memiliki 4 saudara yakni; Ny Minto Wijoyo, Pontjo Sadewo, Tambak Ganggeng, dan Pontjo Benawi.

Lantas seperti apa kenangan sesepuh atau orang yang pernah memperoleh cerita turun-temurun mengenai riwayat Mas Tumenggung Pontjodirjo? Salah satu anggota panitia pelacak hari jadi Gunungkidul (panitia dibentuk tahun 1985) ini bertutur kepada KH.

Pada musyawarah melacak hari jadi Gunungkidul yang diprakarsai oleh KPH Purwokusumo, diikuti tokoh kasepuhan wilayah Redi Kidul/ Gunungkidul. Termasuk mantan Bupati, sekaligus juga mendatangkan Pangeran-pangeran dari Yogyakarta.

Sebelumnya pernah dianggap, bahwa Bupati Kabupaten Gunungkidul pertama adalah Raden Tumenggung Prawirosetiko. Lantas Gusti Purbaya atau adik HB IX menjelaskan, berdasar Tepas Widyo Budoyo (arsip sejarah dan silsilah Kraton Yogyakarta) menegaskan, bahwa Bupati pertama adalah Tumenggung Pontjodirjo.

Seingat Sukiman, saat musyawarah berlangsung sebagai penyusun naskah musyawarah hari jadi waktu itu adalah KRT Kartodiningrat.

Sambung ceritanya, kisah yang ada menyebutkan, kepemimpinan Pontjodirjo dimulai sejak Gunungkidul masih beribukota di Pati, Genjahan Ponjong. Sebelum Pontjodirjo memimpin, di wilayah tersebut pernah dipimpin oleh Bupati (Eyang Mangun Kusumo), ketika wilayah itu masih menjadi bagian wilayah kekuasaan Surakarta. Pengangkatannya sebagai bupati diyakini setelah masa peperangan Pangeran Diponegoro.

Sewaktu memimpin, Pontjodirjo mengalami sakit mata (buta), sehingga sebagai pelaksana tugas kepemerintahan dipercayakan kepada Panji Harjodipuro dari Kepanjen Semanu. Saat pusat pemerintahan masih berada di Ponjong, para demang dan punggawa mengadakan musyawarah hampir selalu berlokasi di Semanu. Diyakini saat itu Semanu telah menjadi Kepanjen, daerah yang ramai atau pusat kota. Wonosari waktu itu masih merupakan hutan bernama Alas Nongko Dhoyong.

Cerita kebutaan Pontjodirjo diawali saat dirinya melakukan rutinitas kegemaran sabung ayam bersama pangeran-pangeran di Yogyakarta. Disebutkan, kegiatan itu merupakan kebiasaan bangsawan atau orang-orang yang mempunyai kedudukan.

Pada salah satu kegiatan sabung ayam, ayam jago aduan milik Pontjodirjo hendak kalah. Saat jeda, seperti biasa ayam jago dibasahi air (dibanyoni). Merasa akan menang, pemilik ayam musuh Pontjodirjo mengejek dengan berujar, ”masak iya ayam dari nggunung mau menang lawan ayam Yogyakarta”.

Kenyataannya, ayam Pontjodirjolah yang akhirnya berhasil menang.

Atas kemenangannya, ia berbalik sesumbar. Sembari mengangkat kaki, dirinya mengatakan, ”walaupun jago Gunungkidul, memiliki keampuhan untuk menang,”. lantas ia meminta bayaran atas taruhan yang disepakati. Menyanggupi apa yang telah menjadi perjanjian, pihak yang kalah akan membayar. Namun, pembayaran menunggu waktu setelah petang. Setelah itu, barulah dipersilahkan pulang ke Gunungkidul.

Lanjut Sukiman, Dalam perjalanan pulang bersama abdinya, Jonantang, sesampainya di suatu tempat (diperkirakan di daerah Pakualaman, sebelah timur kali Code), oleh orang yang tidak dikenal, Pontjodirjo ditombak. Tidak begitu dirasakan, tombak didekap dengan lengannya. Setelah diperhatikan, ternyata senjata tombak tersebut berasal dari dalam (Kraton).

Pontjodirjo bermaksud mengembalikan tombak tersebut. Namun, atas usulan Jonantang, niat itu urung dilakukan. Jonantang berpendapat, jika nanti mengembalikan, bisa jadi dituduh mencuri senjata Kraton. Bergegaslah mereka melanjutkan perjalanan. Sesampainya di kediaman, barulah dirasakan efek tombak tersebut yang mengakibatkan sakit mata hingga mengalami kebutaan.

Karena itulah, sempat ada perintah dari Kasultanan Yogyakarta untuk dilakukan penggantian bupati. Bupati agar dijabat Panji Harjodipuro. Namun, Pontjodirjo belum bersedia. Sebagaimana kebiasaan yang berlaku saat itu, bahwa penggantian kepemimpinan berdasarkan umur atau setelah pemimpin yang hendak diganti meninggal dunia.

Setelah Pontjodirjo meninggal, tidak berselang lama Panji Harjodipuro juga meninggal, sehingga sebagai gantinya adalah Raden Tumenggung Prawirosetiko, seorang Ronggo asal Sumingkar (Sambipitu).

Sebelum meninggal Pontjodirjo berpesan, agar disemayamkan di kediamannya. Oleh karena itu, keberadaan pemakaman yang ada saat ini diyakini dahulu kala adalah kediaman sekaligus kantor bupati masa kepemimpinan Pontjodirjo. Ia merupakan bupati terakhir di Pati dan bupati pertama setelah pusat pemerintahan Kabupaten Gunungkidul pindah ke Wonosari.

Semasa memerintah, peninggalan besar yang Pontjodirjo lakukan adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Pati Ponjong Ke Wonosari atas perintah dari Kasultanan Yogyakarta. Perpindahan pusat pemerintahan terjadi pada waktu ada perubahan tapal batas wilayah Kasultanan Ngayogyakarta. Kasultanan Ngayogyakarta yang tadinya hanya Hutan Bunder ke timur hingga perbatasan Mangkunegaran (Solo), ada penambahan wilayah, yakni Patuk. Sehingga dirasa lokasi Kantor Bupati di Ponjong terlalu ke timur, tidak berada di tengah.

Lokasi yang dianggap berada di tengah untuk pusat pemerintahan, posisinya berada di sebuah hutan, yakni Alas Nongko Dhoyong (Wonosari saat ini). Jika diukur dari Wonosari ke barat hingga Patuk dengan Wonosari ke arah timur hingga Tambakromo yang menjadi perbatasan Gunungkidul sebelah timur, jaraknya tidak terpaut jauh. Begitu juga jarak dari Wonosari hingga pesisir selatan dibanding ke arah utara hingga perbatasan Klaten, jaraknya hampir sama.

Perpindahan pusat pemerintahan dipercayakan kepada Panji Harjodipuro. Pelaksana babat Alas Nongko Dhoyong adalah Demang Wanapawira. Hutan pun berhasil dibuka.

Seiring perpindahannya, pembangunan terus berlangsung. Pada Masa Bupati dijabat oleh Tumenggung Mertodiningrat, Sewoko Projo dibangun tahun 1901 (belum jelas, apakah pembangunan pertama kali atau rehab) dibarengi pembangunan jalan. Kanan-kiri sepanjang jalan dari Patuk hingga Ngungap Baran ditanami pohon jati.

Dari cerita silsilah keluarga, Bupati Pontjodirjo memiliki istri tidak hanya satu. Ada yang dari Serpeng Semanu dan ada yang dari Yogyakarta (Yudonegaran). Cerita yang dituturkan Sukiman, Pontjodirjo hanya memiliki anak keturunan dengan istri dari Yogyakarta, tetapi tidak jelas berapa jumlahnya. Setelah ia meninggal, diperkirakan istri dan anaknya kembali ke Yogyakarta. Ada yang menyebutkan, anaknya bernama Ngabdul Mataram.

Sukiman sendiri mengaku, ia merupakan keturunan dari saudara kandung Pontjodirjo, yakni Nyi Minto Wijoyo. Dalam sebutan Jawa, dirinya merupakan udek-udek siwur atau keturunan generasi ke-6. Lelaki bercucu 15 dan memiliki buyut 5 ini masih memiliki ingatan tajam. Dirinya hafal urutan bupati Gunungkidul dari pertama hingga terakhir.

Sukiman pada tahun 1985 ikut menjadi bagian dalam menentukan hari jadi Kabupaten Gunungkidul. Bersama tokoh lain ia turut bermusyawarah di Bangsal Sewokoprojo. Tepatnya berada di ruang bagian belakang. Setelah selesai musyawarah dengan suatu mufakat, dirinya menerima honorarium sebesar Rp 5 ribu. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar