Lumbung Kawruh

oleh -15458 Dilihat
oleh
Perpustakaan Lumbung Kawruh; Dusun Ngurak-urak Desa Petir Kecamatan Rongkop
Perpustakaan Lumbung Kawruh; Dusun Ngurak-urak Desa Petir Kecamatan Rongkop

Sinau bareng,
Bareng-bareng sinau. 
[Ribut Eugh]

Mendengar kata lumbung, saya teringat lumbung-desa atau lumbung-dusun (bahkan teringat gendhing-dolanan “Lumbung Desa” Nartasabdan). Lumbung, sepengetahuan saya, adalah sebangsa tandho atau tandhon (rumah-rumahan panggung sebagai tempat penyimpanan), yang di karang padesan (dusun-desa) digunakan untuk menyimpan padi dan hasil olah-tani lain. Jika bukan berbentuk rumah-rumahan, lumbung sering berbentuk aneka wadah atau srumbungan (goni, bagor, tenggok, senik, dll.) yang diletakkan di bagian rumah-dalam, dimana hanya pada waktu-waktu tertentu saja bagian rumah-dalam ini disambangi. Bagian rumah ini terasa ‘wingit’, agak gelap, serta memiliki beberapa kursi-kayu atau dhipan-amben atau dhingklik-dawa atau jlagrakan agak tinggi untuk menaruh hasil bumi. Beberapa kali jika seorang anak-desa menginginkan nggoreng kacang kulitan atau jagung atau kedelai, maka setelah numpangke wingka atau wajan di atas pawon, ia meminta ijin simboknya untuk mengambil sebagian palawija yang disimpan simbok di tandhon-lumbung.

Pari-palawija yen wis garing diunggahake lumbung: begini ilmu pengetahuan (kawruh) pertanian pedesaan mewariskan pesan. Artinya, berbagai hasil kerja budaya among-tani pedesaan (pari-palawija) setelah ‘diawetkan’ akan disimpan di tandhon-lumbung itu. Tandhon juga bermakna: simpanan-cadangan, yaitu simpanan-cadangan padi, kacang, kedelai, jagung, dan lain-lain, yaitu simpanan palawiji dan palawija; tak lain simpanan palakerti, yang saya-interpretasikan sebagai simpanan kawruh atau kekayaan ilmu pengetahuan buah kerja among-tani di desa-dusun. Berbagai jenis pari-palawija berada di dalam tandhon-lumbung sepanjang musim kemarau dalam suasana kerukunan. Suatu saat jika membutuhkan hasil panen ini, maka para among-tani tinggal mengambilnya dari lumbung. Oleh karena itu, di waktu-waktu tertentu, konsep lumbung mewakili makna: suatu kerja-bersama antar manusia atau antar komunitas manusia dengan urunan sakbisa-bisane dan sakduwe-duwene dalam sebuah aksi budaya.

Dan urunan sakbisa-bisane serta sakduwe-duwene ini lah yang dilakukan oleh Ribut Eugh beserta kawan-kawannya di Dusun Ngurak-urak, Desa Petir, Kecamatan Rongkop, Kabupaten Gunungkidul, untuk membangun sebuah pasinaon (tempat belajar bersama) bernama “Lumbung Kawruh”. Lumbung Kawruh adalah udhu atau urun-nya Ribut dan kawan-kawan.

Lumbung Kawruh. KH/WG.
Lumbung Kawruh. KH/WG.

Dalam beberapa aksi, Ribut bekerja-sama dengan kawan atau saudara yang cocok dan sehati dengannya. Sangat mungkin gagasan lahirnya  “Lumbung Kawruh” sejalan dengan pandangan beberapa kawan yang pernah diajak sharing. “Kula ming pengin urun sithik-sithik sing penting isa mlaku,” begini Ribut mengungkapkan latar belakang aksinya.

Sharing dalam setiap pertemuan di Lumbung Kawruh maupun di luar Lumbung Kawruh, menurut Ribut, justru menguatkan jejaring persaudaraan. Persaudaraan (jejaring) yang seperti ini lebih bisa digugu dibanding ‘bantuan’ dari pihak luar yang (diharapkan) datang tiba-tiba. Teknik yang dilakukan dalam jejaring komunitasnya adalah saling mengisi kekurangan. “Nggonmu kurang apa, nggonku kurang apa,” Ribut menjelaskan. Jika kawan-kawan Lumbung Kawruh memiliki niat baik, Ribut yakin bahwa nantinya akan terdengar ke banyak tempat. Ribut mengajak anak-anak untuk berproses ini itu, lebih sebagai sarana untuk mengatakan: “Eh, aku ki isa ngene iki, lho!” Ribut dan kawan-kawan Lumbung Kawruh menghindari “membuat proposal” untuk mendapatkan bantuan dana. Di Lumbung Kawruh ia mengajak kawan-kawan untuk berkarya, yang kemudian karya-karya Lumbung Kawruh diawaki (dikoleksi) masyarakat lebih luas. Ribut lebih menekankan kepada kreatifitas teman-teman: “Isaa, pintera, sinaua! Araka kowe wong sing ora sekolah paribasane, sekolahe mung endhek, ning nek kowe duwe prestasi, nek kowe isa gawe ngene ngono, muga-muga kabeh iki mau sing bisa nyongkoki Lumbung Kawruh.”

Kegiatan atau aksi yang sudah dilakukan oleh Lumbung Kawruh di antaranya: beberapa pemuda menularkan kawruh tari kepada anak-anak (meskipun anak-anak Lumbung Kawruh belum begitu bisa dan terampil memeragakannya); di hari libur sekolah seperti hari sabtu dan minggu anak-anak melakukan sinau bareng aksara Jawa. Pelaksanaan kegiatan menyesuaikan waktu para pamong atau pengajar karena memang itu adalah kegiatan sinau-bareng tanpa pemberian  honorarium. Jadwal bisa berubah sesuai kebutuhan. Ada juga kegiatan berkesenian yang diberi nama perkusi tong dudu blek (semacam thoklik pada jaman dulu). Para anak Dusun Ngurak-urak yang masih bersekolah SD seperti Panji, Iyan, Deva, Aji, belajar dan bergembira memainkan tong-dudu-blek, yaitu musik perkusi menggunakan kenthongan, tong atau blek. Mereka menyanyikan: tikus ngete. Mereka merasa senang belajar dan bermain bersama di Lumbung Kawruh. Mereka membaca buku-buku komik naruto, ipin-upin, spongebob, hingga cerita wayang. Mereka menggambar. Mereka nyukil kayu.

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar