PALIYAN, (KH),– Gunungkidul disebut sebagai kota gaplek. Hal tersebut tidak lepas dari salah satu hasil bumi yang cukup menonjol, yakni ketela. Sebagaimana diketahui, panenan ketela para petani di kabupaten dengan topografi berbukit-bukit ini umumnya dibuat gaplek.
Petani mengaku tidak sembarangan asal menanam tanaman pertanian yang masuk kategori palawija ini. Namun memilih jenis ketela tertentu untuk ditanam setiap musim penghujan.
Salah satu petani asal Desa Karangasem, Kecamatan Paliyan, Gunungkidul, Supardi menuturkan, ada dua jenis ketela yang umum ditanam secara tumpangsari dalam satu lahan. Masyarakat menamainya dengan sebutan ketela Brambang dan Ketela Klenthengan.
“Namun masih cenderung paling sering dipilih Ketela Klenthengan,” kata Supardi belum lama ini saat ditemui di lahan pertanian miliknya.
Ia menunjukkan varietas Ketela Klenthengan yang ditanam. Salah satu ciri yang menonjol yakni memiliki tangkai daun berwarna kemerahan.
Asal varietas ketela Klenthengan yang ditanam merupakan bibit warisan dari petani terdahulu. Dari zaman nenek moyang. Ketela ini turun temurun dari generasi petani terdahulu ke generasi petani saat ini.
Menurtnya ketela ini memang cocok dengan karakteristik lahan tadah hujan di zona selatan Gunungkidul dengan tanah yang cenderung tipis dan mudah kering.
Selain itu keunggulan lainnya ada pada daya tahan masa simpan. Seperti diketahui, usai panen ketela dibikin gaplek. Usai dicabut ketela dikupas dan dikeringkan dengan cara dijemur. Setelah benar-benar kering Gaplek disimpan dalam wadah khusus. Tempat menyimpannya berupa keranjang besar dari anyaman bambu berbentuk menyerupai tabung. Ketela Klenthengan dapat bertahan lama di dalam wadah yang disebut Kemplung itu.
“Masa simpan bertahan lama. Disimpan untuk cadangan makanan, biasanya gaplek dibuat nasi thiwul atau dijual untuk membeli berbagai kebutuhan selama musim kemarau,” terang lelaki yang berusia lebih dari 50 tahun itu.