Kelas Literasi Gunungkidul: Mengenali Kampung Sendiri Lalu Menulisnya Dalam Buku

oleh -4358 Dilihat
oleh
Literasi
Pertemuan pertama Kelas Literasi. Pelatihan menulis didampingi oleh Rifai Asyhari. (KH)

GUNUNGKIDUL, (KH),– Generasi penerus terancam kehilangan identitas lokal karena tidak paham tentang sejarah dan budayanya sendiri. Kiranya ungkapan itu tak bisa dianggap sepele. Realitas zaman post modern benar-benar mengancam. Kemauan mengenali identitas dan budaya yang ada di lingkungan terdekat, kemudian sungguh-sungguh merekamnya lalu merawatnya dari waktu ke waktu semakin jarang ditemui. Tak terkecuali, di sudut manapun generasi itu berada. Di wilayah ‘pinggiran’, macam Gunungkidul, misalnya.

Takut kehilangan lokalitas tak bisa dijawab dengan sebatas pada ungkapan keresahan. Kerja dan upaya nyata merawat lokalitas yang mungkin tergolong kecil, namun serius, tengah ditempuh oleh 12 pemuda Gunungkidul. Tentu saja, spirit yang mendorongnya karena mereka tak ingin kehilangan ke-Gunungkidulannya.

Pemuda-pemuda tersebut semacam relawan yang mewakili berbagai sudut wilayah Gunungkidul. 12 pemuda itu berasal dari 11 kapanewon. Saat ini mereka sedang belajar menulis di ‘Kelas Literasi’. Kelak mereka akan menulis apapun yang ada di lingkungannya. Sebagai permulaan, konten tulisannya dimulai dari passion masing-masing nanti akan diwujudkan dalam buku antologi. Mereka tak peduli usaha yang telah dimulai dianggap kecil. Namun, mereka punya keyakinan bahwa kelak apa yang dirintis saat ini akan menghadirkan manfaat yang besar setidaknya bagi kampung halamannya. Mereka cukup bersemangat. Pepatah Cina yang berbunyi, “orang yang memindahkan gunung dimulai dengan membawa batu-batu kecil” seolah menjadi pedoman mereka.

Wahana belajar menulis berupa ‘Kelas Literasi’ mereka akses secara gratis. Beberapa pihak yang punya komitmen dengan memberikan dukungan dan fasilitasi secara gotong-royong diantaranya Sinambi Sinau, Resan Gunungkidul, Rebo Wagen, dan Penerbit Hatopma, serta Radio Buku Yogya.

KH sempat berbincang dengan salah satu fasilitator, Rifai Ashyari, seorang editor di sebuah penerbit buku beberapa waktu lalu. Dia meluangkan waktu ‘menemani’ peserta Kelas Literasi pelan-pelan menuliskan segala hal yang ada di Gunungkidul, lebih spesifik kampung halaman masing-masing peserta.

Rifai mengatakan, sebelum menulis, peserta diajak membaca, mengenali serta mengindentifikasi apa yang ada di lingkungan terdekatnya. Setelah kenal, serta paham peserta akan memulai menulis. Menulis dilakukan bersamaan dengan belajar di Kelas Literasi yang pertemuannya dijadwalkan dalam periode waktu tertentu.

“Saya dulu juga belajar dari kelas-kelas sukarela semacam ini. Kali ini saya mencoba ikut terlibat di Gunungkidul. Kalau jangka pendek produk tulisan akan diwujudkan buku. Kelak, dari jaringan pertemanan baru lingkup peserta ini berikut gerakan mereka yang lain selain penulisan, harapannya gerakan-gerakan serupa dapat direplikasi di daerah peserta masing-masing,” beber Rifai saat ditemui di ruang pelatihan di ‘Sinambi Sinau’.

Oleh beberapa komunitas yang terlibat dalam Kelas Literasi, Rifai diminta mengambil peran sebagai teman belajar khususnya dalam hal teknik menulis sekaligus editor yang akan secara langsung membantu menentukan format tulisan.

Peserta yang ikut dalam Kelas Literasi merupakan pemuda dengan berbagai latar belakang. Selain pertimbangan domisili, peserta juga diseleksi diantaranya mengenai latar belakangnya itu. Beberapa diantaranya juga diambil dari jaringan pertemanan yang sebelumnya terbentuk. Hal itu semata agar selama kelas berjalan sekitar 3 hingga 4 bulan, peserta dapat mengikutinya hingga selesai.

“Ada yang pemerhati lingkungan (Komunitas Resan), berkegiatan di seni pertunjukan, pegiat adat tradisi lokal, guru, mahasiswa serta peneliti,” rinci Rifai menyebut latar belakang peserta.

Salah satu peserta, Josu mengaku tertarik dengan gagasan pihak-pihak yang bersepakat menelurkan program Kelas Literasi. Ketertarikannya bersambut dengan ajakan ikut bergabung.

“Gagasan Kelas Literasi punya kesamaan minat dan keresahan yang saya alami. Kalau bahasa saya, ini nanti dapat membingkai realitas di sekitar kita. Contoh untuk lingkup Gunungkidul, itu kan banyak cerita, tradisi, dan kearifan lokal, namun kebanyakan turun-temurun lewat bahasa lisan, itu yang menjadi kendala regenerasi,” kata asisten peneliti di sebuah lembaga penelitian dari Singapura ini.

Literasi
Peserta Kelas Literasi mengikuti pelatihan menulis di ‘Sinambi Sinau’. (KH)

Perintis komunitas ‘Gunungkidul Menginspirasi’ ini juga menilai ‘ruh’ dan spirit gerakan yang dihidupkan pada Kelas Literasi punya kesamaan dengan komunitas yang dia rintis bersama kawan-kawannya. Antara lain serius ingin berbuat sesuatu bagi Gunungkidul, membantu dan berdaya bersama dalam ukuran dan ruang masing-masing.

Elfi Husniawati dari Ponjong yang getol belajar pertanian organik pun ikut tertarik. Dia juga bergabung di Kelas Literasi. Tiga tahun terakhir ini dia sedang merintis kegiatan memanfaatkan lahan pekarangan yang terbengkalai supaya optimal.

Lulusan jurusan komunikasi UGM ini tidak ingin bergerak sendiri. Dia tertarik ingin ikut terlibat dalam dinamika perkembangan Gunungkidul. Namun dimulai dari cara dan kegiatan yang sederhana. Semangat bertani organik secara mandiri namun produktif akan selalu dia bawa dan menjadi topik utama dalam praktek belajar serta menelurkan karya tulisan di Kelas Literasi.

Faktor lain dia tertarik karena kesukaannya bertemu dan bergaul dengan siapapun. Termasuk perjumpaannya dengan pemuda Gunungkidul dengan berbagai latar belakang di komunitas Kelas Literasi.

“Saya punya modal suka bergaul dengan mereka. Saya berharap ini mampu menjadi media saya berkespresi diantaranya minat saya utamanya dalam pertanian mandiri dalam hal optimasilasi lahan pekarangan,” tutur Elfi.

Perempuan berkerudung ini bercerita mulai fokus berkegiatan pada sektor pertanian sejak 2019. Jujur dia berujar, ada semacam ‘panggilan’ untuk kembali ke Gunungkidul, yang lantas membuatnya menjatuhkan pilihan berhenti bekerja sebagai design grafis lalu belajar dan praktek bertani secara mandiri.

“Saya mulai mengajak pemuda, misalnya remaja masjid bikin program Ramadhan hijau, melakukan penanaman di komlpleks masjid. Ada tanaman buah, sayuran dan tanaman hias. Sebelumya karangtaruna di lingkungan rumah lebih dulu saya ajak,” katanya.

Banyak media sebagai wahana belajar otodidak. Melalui internet serta kelompok tani di kampungnya. Pengetahuan dan pengalaman itu yang akan menjadi karya tulisnya nanti.

Peserta lain yang KH temui bernama Isnaini Nur Fitriani. Meski masih sibuk menyelesaian skripsi tak menghalangi minatnya bergabung di Kelas Literasi.

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UNY ini punya pedoman, bahwa menulis, lebih-lebih diwujudkan dalam sebuah buku merupakan prestasi besar.

“Kalau kita menulis, dalam buku misalnya, tentu akan membuat kita abadi. Karya itu bisa bisa dikenang, menjadi bacaan dan sumber pengetahuan bagi generasi setelah saya,” tutur anak ke dua dari dua bersaudara ini.

Masuk ke Kelas Literasi boleh dibilang kebetulan. Berawal dari kegiatan Komunitas Resan yang melakukan penanaman pohon di kawasan telaga dekat rumahnya, dia lantas memperoleh informasi mengenai kelas ini.

Dia mengaku terkesan. Dari pertemuannya dengan peserta lain, dia tahu ada orang-orang seusianya dari Gunungkidul banyak yang tertarik dan berusaha kenal lebih jauh dengan daerahnya, lantas disusul keinginan mengenalkannya ke orang lain melalui tulisan.

“Saya juga kepingin melakukan hal yang sama. Nanti, tulisan bisa menjadi khasanah berbagai hal tentang Gunungkidul yang perlu dirawat dan dijaga,” tutur perempuam berusia 24 tahun ini.

Kelas Literasi juga menarik minat Sigit Nurwanto asal Siraman, Wonosari. Pemuda yang berusia 29 tahun dan punya aktivitas keseharian buruh ini tak mau ketinggalan.

Tak basa basi, nanti dia ingin mengawali karya tulisan soal Pasar Kawak, cikal bakal Pasar Argosari di Wonosari, Gunungkidul. Mulai dari historis atau legendanya, adat tradisi yang melekat, dan nilai fungsionalnya bagi masyarakat sekitar. Baginya, Pasar Kawak bukan situs biasa. Penuturannya bikin KH penasaran. Kata dia, Pasar Kawak merupakan monumen cinta, layaknya Taj Mahal di India.

“Nanti melebar soal pakeliran. Kebetulan saya mendalami seni pertunjukan wayang kulit di Keraton Yogyakarta. Tentu sesuai kemampuan, nanti juga soal seni budaya dan cerita rakyat yang ada di Gunungkidul,” beber lelaki yang tergabung di komunitas Gunungkidul Dalang Muda (Gundala) ini.

Perwakilan dari utara, tepatnya Nglipar, Rohmad Gilang Rosadi mengaku bangga menjadi peserta. Setahu dia memang ada seleksi sebelum terpilih 12 peserta.

“Bersyukur dipertimbangkan masuk sebagai peserta,” ujar mahasiswa UNY semseter 8 jurusan Pendidikan Teknik Mesin ini.

Dia mengakui, spirit ‘mengenali’ lingkungan tinggal yang digaungkan Kelas Literasi bukan perkara remeh-temeh. Sebagai pemuda, selama ini ia tak begitu ‘kenal’ dengan baik lingkungan tinggalnya. Baru beberapa kali menjalin komunikasi lewat pertemuan dengan peserta lain dan fasilitator, dia lantas merasa tersadar. Banyak hal yang ia anggap ‘biasa’ di lingkungannya, namun itu sulit ditemui di tempat lain.

“Misalnya soal gotong-royong. Kearifan lokal itu masih kuat dipertahankan di tempat kami, jarang kalau di kota. Ini yang patut saya angkat nanti,” kata Rohmad.

Literasi
Rifai Asyhari sedang mengisi Kelas Literasi. (KH)

Beda lagi dengan Bias Afisa (30), peserta Kelas Literasi asal Karangmojo ini telah cukup lama merasakan kegelisahan atas fenomena sosial yang terjadi di lingkungannya tinggal. Bahkan banyak di tempat lain di Gunungkidul.

Dia menyebut, Gunungkidul merupakan daerah dengan tingkat urbanisasi yang tinggi. Merantau, di satu sisi baik demi peningkatan ekonomi keluarga. Namun, di sisi lain banyak hal negatif yang berisiko timbul. Misalnya, keluarga muda yang meninggalkan anak-anaknya di kampung bersama kakek neneknya. Fenomena itu menjadi satu persoalan yang akan berdampak dalam jangka panjang bagi tumbuh kembang anak. Pertumbuhan anak yang tidak didampingi orang tua, pola asuh yang tidak ideal disertai kurangnya support sistem dari lingkungan berisiko membuat anak menjadi ‘korban’. Sebagaimana anak di banyak tempat yang cenderung ‘diabaikan’ karena multifaktor, anak berisiko mencari pelarian ke hal negatif, seperti pergaulan bebas, miras dan obat-obatan terlarang.

Pengajar bahasa Jerman online di dua lembaga ini merasa masyarakat perlu menyadari fenomena itu. Sebab, dalam jangka panjang pula kondisi mental dan emosional anak berisiko menjadi rentan.

“Problematika sosial lain masih banyak yang memiliki risiko sama, sehingga anak menjadi ‘korban’. Namun, masih ada pula keluarga dengan kondisi persoalan yang hampir sama bisa menekan risiko itu. Sebuah keluarga punya problem solving yang bisa ditawarkan. Nah, hal itu bisa dimunculkan dan dikenalkan secara luas, diantaranya melalui tulisan. Model menyelesaikan persoalan yang punya kemiripan latar belakang masalah itu yang bisa dijadikan referensi dan ditiru,” beber Bias.

Dia juga menyinggung soal remaja yang dalam proses pencarian jati diri. Ada banyak contoh bagaimana seseorang menemukan spirit jiwa, identitas, dan daya gerak dari dalam atau spiritualitas yang bisa dicontoh atau menjadi referensi. Sehingga yang diperlukan terhadap hal inspiratif itu adalah menyebar luasakannnya.

“Harapannya bisa menjadi triger dan motivasi yang menawarkan perspektif, pilihan sikap atau tindakan yang akan diambil remaja,” harap Bias.

Lulusan jurusan Pendidikan Bahasa Jerman UNY ini kembali menyinggug soal pola asuh. Model yang diterapkan orang tua tempo dulu yang telah ‘membudaya’ jangan-jangan tidak lagi relevan untuk generasi sekarang. Otoritas orang tua terkadang ‘absurd’ lalu perlu ditilik ulang. Bisa jadi model parenting dan cara mendidik tidak sesuai kebutuhan anak, yang sebetulnya butuh kebebasan pilihan atas banyak hal yang hadir. Jika tak segera diberi wacana baru, dia menilai model pola asuh itu berisiko terus berlanjut ke generasi keluarga dimasa mendatang.

Peserta lain yang KH temui namanya Kelvin Putra Kahimpong, berasal dari Dengok, Playen, Gunungkidul. Saat ini bekerja di ‘Sinambi Wedangan’.

Lulusan SMA tahun 2018 ini punya nama tidak seperti orang Gunungkidul. Nama belakang ‘Kahimpong’ ternyata merupakan nama marga ayahnya yang berdarah Sulawesi. Asal usulnya tak menyurutkan niat turut berbuat bagi Gunungkidul. Melalui tulisan dia ingin mengarsipkan apa saja soal Gunungkidul.

“Akan saya mulai dengan hal-hal yang bersifat tradisional, ada peralatan, kuliner dan kebiasaan masyarakat. Jangan sampai hilang dan generasi selanjutnya tak tahu,” katanya optimis.

Sembari belajar banyak hal tentang Gunungkidul, dia yakin mampu terlibat bersama teman-teman Kelas Literasi yang dikalim punya frekuensi yang sama.

Fathur dari Wonosari, tak ingin jauh-jauh dari studi yang digeluti. Mahasiswa Fakuktas Hukum UAD ini ingin mencoba pelan-pelan membuka wawasannya ke publik mengenai agraria dan ekologi.

Mahasiswa yang punya usaha sampingan jualan pakaian bekas ini menilai tinjauan aspek hukum agraria dan ekologi punya benang merah. Tema tersebut relevan bagi Gunungkidul yang identik sebagai kabupaten penghasil tambang, pangan (pertanian) dan industri wisata.

“Semoga dapat menyajikan tulisan yang friendly, sehingga memantik kesadaran bersama pentingnya pengetahuan dan tindakan yang berpihak pada ekologi. Saya ingin mengajak agar siapapun khususnya warga Gunungkidul punya rasa memiliki pada tanah kelahiran, lantas kedepan tak rakus mengeksploitasinya,” harap Fathur. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar