TANJUNGSARI, (KH),– Dampak aksi ijin tidak masuk yang dilakukan oleh honorer di sekolah negeri membuat pelaksanaan pembelajaran di sekolah kacau. Hal tersebut terjadi terutama di institusi pendidikan yang jumlah guru dan pegawainya didominasi honorer.
Seperti di SD Mentel I, Desa Hargosari, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunungkidul ini, akibat tidak masuknya 8 honorer praktis membuat pelaksanaan pembelajaran kalang kabut.
Kepala SD mentel I, Kamijan, S,Pd SD, saat ditemui, Senin, (15/10/2018) mengaku merasa kerepotan. Sebab, jumlah guru PNS yang ada tak mampu sepenuhnya mengisi kekosongan jam pelajaran yang ditinggalkan honorer.
“Yang masuk 3 guru PNS sehingga 1 guru mengampu dua kelas. Saya juga ikut bantu masuk ke kelas,” ujarnya ketika ditemui di ruangannya. Tidak hadirnya 8 Honorer yang terdiri dari 5 GTT dan 3 PTT diakui membuat pembelajaran sangat tidak optimal.
Ditambahkan, meski tidak masuk, sebagian guru tetap memberikan tugas kepada siswa melalui guru PNS yang hadir di sekolah. Kamijan mengaku tak dapat menyatakan bahwa aksi honorer tersebut sepenuhnya salah, sebab berbicara persoalan honorer cukup dilematis. Honorer yang hanya memperoleh penghasilan antara Rp. 200 hingga 400 ribu perbulan dinilai tidak setara dengan beban tugas yang diemban.
Selain dikeluhkan guru PNS dan kepala sekolah, keluhan juga muncul dari wali murid. Kamijan mengaku sebelum aksi tidak masuk honorer dimulai, wali murid telah menemui dan bertaya pada pihak sekolah perihal aksi honorer tersebut.
“Para wali murid menginginkan aksi tidak masuk honorer tidak berlangsung lama,” tutur Kamijan.
Berdasar pantauan KH di SD Mentel I, sejumlah ruang kelas kosong tanpa guru. Belasan siswa lebih banyak mengerjakan tugas-tugas tanpa dampingan guru.
Sebagaimana diketahui, honorer di Kabupaten Gunungkidul yang tergabung dalam Forum Honorer Sekolah Negeri (FHSN) sepakat berencana tidak masuk kerja atau mengajar selama 17 hari, terhitung mulai Senin, (15/10) hingga Rabu, (31/10/2018) nanti.
Hal tersebut mereka lakukan demi memperjuangkan tuntutan kepada pemerintah agar mencabut sejumlah peraturan yang dinilai diskriminatif bagi mereka. Honorer kecewa kepada pemerintah yang menerbitkan Peraturan Menpan RB No 36 Tahun 2018 tentang rekruitmen CPNS yang diskriminatif terhadap honorer.
Menurut Ketua FHSN Gunungkidul, Aris Wijayanto, S,Pd, poin aturan batasan usia maksimal 35 tahun bagi pelamar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) sangat merugikan honorer yang telah berumur di atas batas usia tersebut. Hal tersebut dinilai diskriminatif. Sebab, honorer yang berusia di atas 35 tahun dan telah mengabdi bertahun-tahun tidak memiliki kesempatan mengikuti seleksi CPNS.
Di luar itu, pengabdian yang berlangsung sejak lama nampaknya juga tak membuat pemerintah memberikan prioritas kepada honorer dalam hal pemberian apresiasi. Seperti misalnya memprioritaskan honorer untuk diangkat menjadi CPNS berdasar masa kerja secara bertahap sesuai kebutuhan tenaga guru. (Kandar)