PLAYEN, (KH),– Siang itu, Rabu, (6/1/2021) matahari tampak malu-malu menampakkan sinarnya, redup dan bersembunyi di antara mendung musim hujan di-awal tahun. Angin yang sesekali berhembus membawa rintik gerimis turun dan pergi begitu cepat. Di langit tampak burung-burung Seriti yang terbang tinggi berombongan, menukik dan terbang rendah seakan saling berkejaran.
Suasana siang yang muram itu langsung terasa cair, saat KH berkunjung dan melihat kegiatan di sebuah ladang pertanian di Padukuhan Tanjung, Kalurahan Bleberan, Kapanewon Playen, Gunungkidul. Seorang anak muda dan beberapa ibu-ibu setengah baya, tampak asik bekerja sambil bersenda gurau di sebuah lahan pertanian. Terlihat bedengan-bedengan tanaman Bawang merah yang menghjiau menghampar di depan mata.
“Kami sedang metani (mencari) ulat mas,” sapa Heri Susanto (29), menyambut KH di-pagi menjelang siang itu.
Heri adalah pemuda petani warga Padukuhan Tanjung II, Kalurahan Bleberan, Kapanewon Playen.
“Menanam Bawang merah di-musim penghujan seperti ini kendalanya lebih sulit daripada menanam di musim Kemarau, tapi jika berhasil harga jualnya biasanya lumayan,” lanjut Heri
Siang itu kami mengobrol di sebuah gubuk di lahan Heri sambil menikmati segelas Teh dan Jagung rebus yang menjadi bekalnya berladang. Heri bercerita bahwa tanaman Bawang merahnya saat ini usianya sudah 26 hari.
“Di musim tanam ini, saya menanam 4,7 Kwintal bibit Bawang Merah. Lahan saya ada di dua lokasi,” ujarnya. Menurut penuturan Heri, modal yang dia keluarkan, mulai dari persiapan lahan, pembelian bibit, dan perawatan tanaman, sampai usia 26 hari ini, sudah mencapai sekitar Rp 22 juta. Estimasinya sampai usia panen, dia harus mengeluarkan modal sekitar Rp 30-an juta.
“Kendala terbesar tanaman Bawang merah di-musim penghujan adalah serangan Jamur, apalagi jika curah hujan tinggi, saya harus menyemprot Fungisida secara berkala, minimal 3 hari sekali,” ungkapnya.
Di samping serangan Jamur, Heri juga bercerita bahwa hama Ulat Grayak juga menyerang tanaman Bawang merahnya. Ulat Grayak ini adalah sejenis ulat yang sangat sulit di basmi. Biasanya ulat jenis ini menyerang tanaman di waktu malam hari.
“Kalau di semprot Pestisida, jika tidak kena langsung ulatnya (racun kontak), maka ulat tidak akan mati, jadi terpaksa saya sering menyemprot ulat di malam hari, dari jam 10 sampai jam 1 malam, atau siangnya saya membayar tenaga harian untuk “metani” atau mencari ulat secara manual. Saat ini ada 4 tenaga, sehari upahnya 60 ribu per orang,” cerita Heri panjang lebar.
Heri meneruskan, budi daya Bawang Merahnya ini menjadi demplot dari Dinas Pertanian dan Pangan (DPP) Gunungkidul. Melalui program Petani Milenial, Heri mendapat bantuan benih dari Dinas pertanian, dengan jumlah benih separuh dari bibitnya sendiri. “Saya menerima benih dari Dinas sebanyak 2,3 Kwintal, pemberian benih itu dengan syarat saya harus menyediakan bibit sendiri dengan jumlah yang sama,” ujarnya.
Program Petani Milenial saat ini memang sedang digalakkan oleh Pemerintah, program ini untuk menjawab keresahan tentang isu Regenerasi petani yang menjadi kegelisahan banyak pihak. Secara umum profesi petani di Gunungkidul memang belum mempunyai daya tarik bagi para pemuda, yang akhirnya, profesi pertanian didominasi oleh petani petani berumur tua. Ini menjadikan dunia pertanian menjadi sepi Inovasi, akibatnya image petani adalah profesi “pepetan” menjadi stigma umum masyarakat.