“Ada dua tujuan besar dalam kegiatan ini, yakni merawat wesi aji untuk memperkuat kekuatan magis yang terkandung di dalamnya dan merawat secara fisik untuk mempertahankan bentuk (dapur), pamor, dan menghilangkan karat (korosi) pada besi aji itu sendiri,” ujar Suyanto, warga Desa Pilangrejo, Nglipar, Gunungkidul selaku koordinator kegiatan adat jamasan pusaka tersebut.
Mbah Suro, Suyanto, dan Mas Bill, tiga serangkai yang tiap tahun menjamas pusaka di Nglipar, Ngawen, dan sekitarnya, dibantu beberapa anak muda yang sudah tahu apa pekerjaan masing-masing.
“Kami sengaja mengajak para pemuda untuk membantu njamasi keris agar mereka bisa mengenal lebih dekat benda pusaka warisan nenek moyang, serta mereka tidak memandang sebelah mata budaya nenek moyang. Selain membantu menjamas, biasanya para pemuda mendapat pengarahan tentang tata cara memperlakukan pusaka,” jelas Mbah Suro, penjamas dari Ngawen sambil mengoleskan air jeruk nipis.
Pusaka yang sudah dikeluarkan dari warangka, dilepas gagang (ukiran) lalu direndam dalam air yang ditaburi bunga tujuh rupa.Kurang lebih dua jam kemudian, dibersihkan karatnya menggunakan air jeruk nipis. Setelah bersih, dijemur, dan kering, pusaka-pusaka tersebut akan dibalurkan dengan ramuan jamas (warangan) bersama minyak misik. Proses penjamasan selesai dan aksesoris warangka dan ukiran pun dipasang kembali.
Kedepannya, para penjamas muda tersebut berharap agar ada pihak-pihak yang bersedia memfasilitasi penjamasan massal dan pameran pusaka di Gunungkidul.
Harno, salah satu pemilik pusaka yang dijamas, memaparkan respon positif dengan adanya kegiatan adat tersebut. “Saya sangat bersyukur bahwa di era sekarang masih ada orang-orang yang bersedia menjamas pusaka. Jika tidak ada kegiatan seperti ini, pusaka peninggalan eyang saya tidak terawat dan lama-lama hancur, karena tidak semua pemilik pusaka memiliki keberanian dan kemampuan untuk menjamas pusaka apalagi para generasi muda,” jemas Harno.(Bill_S/Tty)