Embung Mini ala Suyanto: Persiapan Memanen Air Hujan

oleh -3276 Dilihat
oleh
Salah satu embung mini yang dibuat oleh Yanto untuk memanen air hujan musim mendatang
Salah satu embung mini yang dibuat oleh Yanto untuk memanen air hujan musim mendatang

Playen, (KH). “Saya ingat waktu dulu ketika kalenan (parit kecil) di sepanjang dan sekeliling sawah airnya masih awet. Satu-dua bulan hujan tidak turun, air di kalenan masih ada walau tidak mengalir. Saat air mengering, waktunya anak-anak memanen ikan dengan cara tawu dan ngublak. Ini adalah kegiatan wajib dan paling mengasyikkan bagi anak-anak umuran saya,” begini kenang Suyanto, pria berperawakan kurus tinggi yang biasa dipanggil Yanto. “Tapi sekarang alam sudah berubah. Seminggu tidak hujan maka kalenan sudah kering kerontang. Ikan sudah tidak sempat lagi untuk menetap. Kalenan-kalenan yang dulu agak lebar dan banyak ditumbuhi wangkong (sejenis tanaman air), kini telah menciut dan tak lagi menampung air. Bahkan banyak sekali kalenan yang telah hilang menjadi lahan sawah,” imbuhnya.

Yanto, 34 tahun, pria yang tinggal di Dusun Bleberan, Kalurahan Bleberan, Kapenewon Playen, lima tahun yang lalu memutuskan untuk keluar dari sebuah pabrik di Jogja. Ia pulang dan merawat orang tuanya yang sudah sepuh. Waktu itu dia bingung, sembari menunggui orang tuanya di rumah mau mengerjakan apa. Pilihan terdekat adalah bidang pertanian. Meskipun agak aneh bagi para pemuda di dusunnya, jika seorang pemuda memilih bidang pertanian sebagai sebuah profesi. Tetapi Yanto meyakinkan pilihannya ini, “Pertama kali yang saya lakukan adalah mengebor air di sumur halaman rumah. Program saya adalah mengebor sumber air yang jumlahnya cukup, kemudian saya naikkan dengan jet pump, dan saya akan bertani holtikultur (sayuran) sehingga di musim kemarau pun saya masih bisa produksi.”

Yanto dan olahan pertaniannya.[Foto:Padmo]
Yanto dan olahan pertaniannya.[Foto:Padmo]
Dengan memanfaatkan lahan pekarangan rumah sekitar 2600 meter2 Yanto memulai usaha pertaniannya. Ia menggunakan pengairan dari sumur bor pekarangan. Sayur-sayuran seperti kangkung, bayam, kacang-panjang, bawang-merah, dan cabai mulai ditanamnya. Berbagai pengalaman pahit, getir, atau manis ia rasakan selama memulai bertani. “Ya namanya juga usaha, kadang panen bagus, harga bagus, kadang panen bagus harga jeblok. Saya mulai belajar dan berhitung soal masa tanam, karena walaupun panenan saya bagus tapi harga di pasar jeblok, ya sama saja,” katanya sambil terkekeh. Ia meneruskan, “Contohnya kangkung atau bayam cabut, di usia sekitar 20 hari komoditas ini sudah bisa dipanen dan dijual di pasar. Tetapi jika banyak petani lain juga panen, otomatis stok bahan di pasar membludak, dan harga pasti jeblok.” Untuk nenyikapi hal ini, Yanto pintar-pintar memprediksi jenis sayur yang akan ia-tanam.

Apa yang dilakukan Yanto dengan pertaniannya ini, lambat laun mulai dilirik oleh teman-temannya. Ada teman yang mulai tertarik dan mengajak mengobrolkan pertanian. Bahkan ada yang sudah memulai ikut menanam walau masih kecil-kecilan. “Anak anak muda di sini itu banyak sekali, dan itu potensi yang luar biasa untuk bidang pertanian. Sulitnya mencari pekerjaan di kota dan pengaruh lesunya perekonomian akibat pandemi Corona, membuat anak anak muda, bahkan yang baru lulus sekolah, menumpuk di desa,” Yanto bercerita.

Sementara ini Yanto masih mengandalkan air sumur bor pekarangan untuk mengaliri lahan pertaniannya, kelak ia ingin memanfaatkan air embung mini yang telah ia buat.[Foto:Padmo]
Sementara ini Yanto masih mengandalkan air sumur bor pekarangan untuk mengaliri lahan pertaniannya, kelak setelah tiba musim “marengan” ia ingin memanfaatkan air embung mini yang telah ia buat.[Foto:Padmo]
Ada beberapa program yang kini ia-rintis bersama teman-teman Karangtaruna, yaitu berkebun pisang di tanah kas desa dan program satu rumah satu pohon buah. “Saya berusaha masuk di Kelompok Tani yang anggotanya tua-tua, sedikit demi sedikit berusaha merubah mindset mereka tentang pertanian, dan mengajak teman-teman  pemuda untuk bergabung serta belajar bersama. Profesi petani sebetulnya juga menjanjikan, asal kita mau terus berinovasi dan menyesuaikan jaman,” ucapan Yanto berikutnya.

Salah satu embung mini yang dibuat oleh Yanto untuk memanen air hujan musim mendatang.[Foto:Padmo]
Salah satu embung mini (atau bendung mini) yang dibuat oleh Yanto untuk memanen air hujan musim mendatang.[Foto:Padmo]
Apa yang sudah Yanto lakukan di bidang pertanian bersama teman-temannya itu, ditambah kenyataan bahwa pertanian membutuhkan pasokan air, maka ia berfikir tentang bagaimana memanen air hujan (rain harvesting) seperti yang dilakukan oleh orang-orang jaman dulu. Mengandalkan pasokan sumur bor terus-menerus tentu akan mempengaruhi keadaan lahan. Yanto mencoba mengaduk kenangan masa kecilnya tatkala air hujan masih betah untuk tinggal di permukaan tanah. Ia mencoba mengulang kenangan itu dengan membuat embung-embung mini atau bendung mini di sekeliling lahan pertaniannya. “Baru dua embung kecil yang saya buat. Rencana ada beberapa kalenan yang akan saya sekat, tujuan saya agar air hujan bisa tertampung, tidak pergi mengalir begitu saja. Nantinya bisa dimanfaatkan untuk suplai air waktu marengan (musim tanam kedua). Walau tidak banyak debit tampungannya, tapi saya yakin ada manfaatnya,” ujarnya dengan penuh semangat. Di musim tanam kedua atau mareng kadang kekurangan air. Embung mini ia-bangun untuk mengantisipasi hal ini. Siapa tahu anak-anak sekarang bisa bermain di kalenan seperti dulu lagi.

[KH/Edi Padmo]

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar