Dari masa ke masa bahasa Jawa telah mengalami perubahan dalam hal ragam (jenis) dan jumlah. Dari jaman Klasik (Mataram Kuno dan Majapahit) hingga modern sekarang ini sekitar 8 jenis bahasa Jawa telah hilang dan tak lagi digunakan oleh masyarakat pendukungnya.
Seperti beberapa bahasa tradisional lain di Nusantara, bahasa Jawa memiliki tingkat-tutur bahasa yang disebut ‘undha-usuk‘ (tangga) atau tingkatan sopan-santun bahasa. Tingkat-tutur (‘undha-usuk’) bahasa Jawa pada masa lalu, masa pra-kemerdekaan, paling tidak berjumlah 12 ragam. Ragam bahasa Jawa pada masa ini di antaranya: ngoko lugu, ngoko alus, antya basa, basa antya, madya ngoko, madyantara, madya krama, krama desa, mudha krama, kramantara, wreda krama, krama inggil, dan basa kedhaton.
Di masa kini, karena tuntutan penggunaan bahasa dalam kehidupan keseharian masyarakat yang status ataupun ragamnya berbeda dengan masyarakat dulu, maka ragam bahasa Jawa (didukung oleh para ahli bahasa) disederhanakan menjadi empat ragam saja. Empat ragam bahasa Jawa ini meliputi ragam bahasa Jawa: Ngoko Lugu, Ngoko Alus, Krama Lugu, dan Krama Alus. Empat ragam bahasa Jawa ini pun bisa disederhanakan lagi menjadi dua ragam atau dua tingkat-tutur, yaitu: ragam Ngoko dan Krama.
Berdasarkan catatan beberapa pakar bahasa Jawa, saat ini masyarakat penutur bahasa Jawa telah mengalami penurunan jumlahnya. Terutama penutur bahasa Jawa yang berpindah ke kota memilih menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Bahkan para ibu rumah tangga muda yang tinggal di desa, setelah mereka pulang dari kota, sekalipun ketika berkomunikasi dengan anaknya mereka menggunakan bahasa Indonesia.
Melihat keadaan ini, para pakar bahasa merasa memiliki tanggung jawab untuk melestarikan eksistensi bahasa Jawa. Mereka beranggapan bahwa kondisi itu mengindikasikan bahwa “wong Jawa ilang Jawa-ne“, artinya orang Jawa pada masa modern ini telah meninggalkan budaya Jawa salah satunya bahasa Jawa, yang pada jamannya dulu menjadi bahasa yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Jawa, bahkan kosa-katanya banyak mendukung khasanah bahasa Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan kemunduran penggunaan bahasa Jawa, yang faktor itu bisa menyebabkan hilangnya beberapa ragam bahasa Jawa. Bahkan faktor-faktor itu juga bisa menyebabkan perubahan sosial dan budaya yang lebih kompleks.
Perlu disadari bahwa sebuah perubahan tak bisa dielakkan dan dihindari. Baik itu disebabkan oleh faktor internal atau eksternal. Namun perubahan akan selalu ada dan muncul seiring dengan proses perkembangan sosial dan budaya dalam sebuah masyarakat. Kelestarian sebuah bahasa ditentukan oleh masyarakat penuturnya. Secara alami, bahasa itu akan hadir (ada) atau musnah dengan sendirinya. Terkecuali ada sebuah paksaan atau kebijakan penguasa, yang memungkinkan bisa mempertahankan keberadaan bahasa dalam suatu komunitas sebagai pihak yang harus melaksanakan ‘paksaan’ atau kebijakan itu. Meskipun hal ini juga belum tentu efektif.
Upaya pemerintah daerah tingkat I khusunya Provinsi DIY, yang notabene telah memiliki kebijakan tentang penuturan bahasa Jawa, merupakan bentuk pelestarian bahasa Jawa di wilayah DIY dan sekitarnya. Pemda DIY telah mengeluarkan kebijakan agar masyarakatnya turut melestarikan bahasa Jawa dengan cara memasukkan bahasa Jawa sebagai mata pelajaran wajib di tingkat SD hingga SMA. Berbagai pelatihan bahasa Jawa juga dilaksanakan, khususnya pelatihan tentang ‘pranatacara’ (MC) bahasa Jawa dan ilmu retorika lainnya, yang semuanya menggunakan bahasa Jawa.
Namun perlu diketahui, berbagai upaya pemda DIY itu merupakan hasil analisis faktor eksternal yang menyimpulkan bahwa kelestarian bahasa Jawa bisa terkikis karena faktor perkembangan sosial budaya. Kita jarang mempertimbangkan berbagai faktor internal yang menyebabkan anak-anak kecil dan ibu-ibu muda lebih tertarik berbicara dengan bahasa Indonesia atau bahasa lainnya. Kita juga perlu melakukan evaluasi terhadap berbagai pernyataan yang mengatakan bahwa bahasa Jawa itu sulit diucapkan dengan benar sesuai kaidah bahasa dan sistem tingkat tuturnya. Kita mungkin juga perlu mengkaji ulang sebuah pendapat generasi muda yang mengatakan bahwa bahasa Jawa sulit diterapkan di era modern karena bahasa ini berbau diskriminasi, yang menyangkutkan strata sosial dalam penerapannya.
Jauh sebelum era reformasi, faktor internal kemunduran bahasa Jawa telah ramai diperbincangkan. Sekitar tahun 1966 sebuah buku karya Nursalut dan Fernandes Daniel terbit. Salah satu pembahasannya tentang sulitnya penerapan bahasa Jawa karena faktor strata sosial, dimana strata sosial dinilai menghambat proses kesetaraan dan demokrasi. Namun sejak saat itu hingga sekarang para pecinta bahasa Jawa berpendapat bahwa dalam undha-usuk bahasa Jawa tidak ada masalah bila dikaitkan dengan strata sosial dan proses demokrasi.
‘Undha-usuk‘ (tingkat tutur) bahasa Jawa seperti apa yang sulit diterapkan di era modern ini, hingga membuat berbagai pendapat itu muncul? Sebenarnya apa yang membuat masyarakat penutur bahasa Jawa di pelosok pedesaan sekalipun merasa sulit menerima aturan penerapan dan pengucapan kosa-kata bahasa Jawa Krama Inggil di era modern ini, sebagai indikasi kelestarian bahasa Jawa ragam Krama Alus?
Perlu diketahui umum bahwa dalam ragam tutur bahasa Jawa terdapat tingkat tutur kata berjenis Krama Inggil (berbentuk kata) di dalam payung besar yang disebut tingkat tutur bahasa Jawa ragam Krama Alus (berbentuk ujaran/kalimat). Penggunaan kosa kata berjenis Krama Inggil lazim dalam kalimat yang bertingkat-tutur halus atau lembut. Sehingga, roh bahasa krama yang halus adalah penggunaan kosa-kata berjenis Krama Inggil. Kata dalam tataran Krama Inggil dianggap paling halus, paling sopan, dan paling hormat, dibanding krama-madya atau ngoko. Jika ingin bertutur kata yang paling halus dengan lawan bicara, maka penutur menggunakan kosa kosa Krama Inggil.
Dalam sistem ‘unggah-ungguh’ (sopan santun) berbahasa Jawa, pemilihan akan menggunakan tingkat tutur bahasa yang paling halus atau halus saja (biasa) atau kasar memperhatikan beberapa faktor, di antaranya: umur, kekerabatan, dan pergaulan dalam masyarakat. Ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, orang yang secara hubungan darah atau kekerabatan lebih tua, atau orang yang baru saja dikenal, maka pemilihan ‘unggah-ungguh’ (sopan santun) bahasa jenis halus (berkosa-kata krama inggil) adalah pilihan tepat sebagai teknik berbahasa yang digunakan.
Faktor lain yang mempengaruhi penggunaan ‘unggah-ungguh’ (sopan-santun) bahasa Jawa halus (‘krama-alus’) adalah ‘drajat pangkat’, yaitu ketika berbicara dengan orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi, seperti seorang karyawan yang berbicara dengan pimpinannya. Faktor ‘drajat-semat’, saat ketika bahasa krama alus digunakan untuk berbicara dengan orang yang dinilai lebih sukses dan berhasil dalam hidupnya, seperti orang yang kaya atau pun berpenghasilan besar. Pada prakteknya pertimbangan kaya atau tidaknya seseorang tetap digunakan sebagai bahan pertimbangan. Faktor ‘luhuring pribadi’ digunakan sebagai pertimbangan ketika hendak berbahasa halus untuk berbicara dengan orang yang memiliki ‘ngelmu‘ (pendidikan) tinggi.
Jika dilihat sepintas, seakan ada kesan bahwa beberapa faktor di atas merupakan legalisasi agar yang berkedudukan lebih tinggi, yang lebih kaya, dan yang berpendidikan tinggi mendapat penghormatan yang layak sesuai dengan capaiannya. Hampir setara, faktor trah atau keturunan merupakan pertimbangan ketika hendak berbicara halus dengan orang-orang yang memiliki gelar kebangsawanan, seperti: bandara, raden mas, raden ajeng, ataupun gelar-gelar dari silsilah raja lainnya. Ini pun sambil lalu terasa yang berada di strata atas seakan ‘ingin’ dihormati.
Seiring perkembangan jaman dan dinamika sosial, beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan ‘unggah-ungguh’ (sopan santun) berbahasa Jawa oleh beberapa komunitas tak begitu diperhatikan lagi. Ada di antara faktor di atas yang dianggap sudah tidak sesuai dengan semangat kesetaraan, namun ada juga yang hingga kini tetap dijadikan pedoman. Ditambah lagi dalam sistem unggah-ungguh bahasa Jawa ada berbagai aturan rumit yang hingga kini masih dianggap relevan digunakan. Menurut sebagian orang, justru aturan inilah yang bisa menyebabkan hilangnya beberapa ragam bahasa Jawa khususnya krama-alus dan ngoko-alus.
Aturan yang dimaksud adalah aturan dalam sistem unggah-ungguh bahasa yang dikenal dengan aturan minggah (naik) dan aturan mandhap (turun). Seseorang yang memiliki kedudukan tinggi berhak mendapatkan kosa-kata yang berkategori paling-halus dari pada jenis lainnya, yaitu yang tengah dan yang kasar (minggah). Atau sebaliknya, seseorang yang berkedudukan lebih rendah berhak mendapatkan kosa-kata yang berkategori biasa atau bahkan kasar dari pada jenis yang paling halus (mandhap). Sebagai contoh adalah kata atur dan paring yang memiliki arti ‘memberi’. Sebenarnya kedua kategori kata ini telah masuk dalam tingkatan kata halus, hanya saja kata atur dimaksudkan lebih halus dan berjenis kata krama inggil, sementara kata paring berkategori krama-madya, halus yang biasa. Contohnya dalam kalimat-kalimat di bawah ini:
- Ibu Kades ngaturaken satunggaling pawartos ing ngarsanipun Ibu Camat. (Ibu Kades menghaturkan sebuah berita ke hadapan Ibu Camat).
- Ibu Camat paring satunggaling pawartos dhateng Ibu Kades. (Ibu Camat memberikan sebuah berita pada Ibu Camat).
Memperhatikan kedua kalimat di atas, kata atur ditujukan pada orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi karena kedudukan camat lebih tinggi dibandingkan seorang kades. Begitu juga sebaliknya, ketika pemberian sesuatu itu diberikan pada orang yang lebih rendah kedudukannya maka kata yang digunakan menggunakan kata paring karena kedudukan kades lebih rendah dibandingkan camat. Alasan diterapkannya penggunaan kedua kata itu adalah semata-mata untuk menghormati orang lain. Penggunaan kata itu mungkin bisa kita simpulkan berdasarkan faktor drajad pangkat. Faktor drajad pangkat bisa mengalahkan faktor umur. Artinya, bila usia Ibu Kades lebih tua dari Ibu Camat, ternyata faktor usia itu tak bisa merubah susunan kalimat yang ada pada kalimat 1 dan kalimat 2 di atas. Namun tidak semua. Dalam kondisi lain, ada juga Ibu Kades yang usianya lebih tua yang oleh Ibu Camat lebih dihormati karena mempertimbangkan usianya. Selain kedua kata ini, masih banyak pasangan kata lain yang penggunaannya harus memperhatikan aturan minggah dan mandhap. Ratusan pasangan kata lain masih menunggu dipelajari apabila seseorang ingin menggunakan bahasa krama-halus dengan baik dan benar.
Mungkin perlu dikaji ulang oleh para pakar bahasa Jawa dalam menulis sebuah teori unggah-ungguh dan undha-usuk bahasa Jawa di era modern ini karena sistem bahasa itulah yang diajarkan pada siswa mulai tingkat SD hingga perguruan tinggi. Sebuah teori bisa disalahpahami sehingga sistem unggah-ungguh bahasa yang tadinya dimaksudkan untuk memberi penghormatan pada orang lain, justru digunakan oleh orang yang kebetulan “berkedudukan lebih tinggi” untuk memaksa yang di bawahnya harus memberikan penghormatan.
Faktor internal yang ada dalam bahasa Jawa ini sendiri juga perlu dipertimbangkan agar masyarakat pengguna bahasa Jawa tidak lari menggunakan bahasa lain dalam komunikasi kehidupan sehari-hari. Selain itu kita juga tak perlu tergesa-gesa menghakimi bahwa wong Jawa saiki ilang Jawane.
Melihat penerapan unggah-ungguh bahasa seperti di atas, maka timbul berbagai pertanyaan di kalangan muda pengguna bahasa Jawa. Pertanyaan yang paling sering muncul: apakah cara menghormati orang lain harus sebegitu detail dan rumitnya? Dan, mengapa harus ada perbedaan penggunaan kata, bukankah kata atur dan paring itu sudah masuk dalam kelompok kata yang halus? Karena hal ini, jangan sampai para muda enggan belajar dan menggunakan bahasa Jawa karena harus melakukan pemilihan kata dan penentuan kepada siapa mereka bicara yang dinilainya sangat rumit.
Mungkin saja ragam bahasa Jawa halus, yang banyak dikenal dengan istilah krama inggil, akan hilang dan tak akan terdengar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa karena hal ini. Ragam ini nantinya mungkin hanya bisa terdengar dalam upacara-upacara adat Jawa tertentu yang seolah-olah harus menggunakan kosa-kata krama-inggil. Tak hanya krama inggil, justru yang paling mengkuatirkan adalah generasi muda tak akan pernah tertarik menggunakan dan mempelajari seluruh ragam bahasa Jawa yang ada hanya karena permasalahn remeh-temeh seperti ini.
Jangan pernah dilupakan pula bahwa sebuah perubahan budaya terutama dalam penggunaan bahasa sangat dipengaruhi oleh masayarakat pelaku budaya itu sendiri. Sebuah paksaan dan kebijakan penguasa tak akan pernah efektif mempertahankan budaya apabila nilai-nilai budaya di dalamnya dianggap tidak menarik dan tidak patut dipertahankan oleh masyarakatnya.
Hilangnya beberapa ragam bahasa Jawa pada masa lampau hendaknya menjadi pelajaran agar hal itu tak terjadi pada empat ragam bahasa Jawa yang masih tersisa. Seyogyanya, bahasa Jawa yang memiliki keindahan dan keunikan ini harus tetap ada tanpa adanya idealisme remeh-temeh yang justru akan menghancurkan bahasa Jawa itu sendiri. (S. Yanto)