“Menurut cerita simbah buyut, jenis padi waktu itu padi Jawa (padi dengan batang tinggi), petani membawa pulang hasil panenan dengan cara dipikul melewati jalan setapak penuh semak belukar. Banyak tangkai padi yang tersangkut dan rontok karena masih rimbunnya semak pada kanan kiri jalan,” jelasnya, Minggu (3/5/2015).
Atas dasar itulah warga bersama-sama melaksanakan Babat Dalan, (membuka dan membersihkan jalan). Hingga saat ini kebiasaan itu dijadikan rangkaian kegiatan adat tradisi. Sedangkan kenduri yang dilaksanakan di pertapan Gebangkoro selain sebagai wujud syukur kepada Tuhan juga sebagai penghormatan kepada dua tokoh leluhur; biasa disebut cikal bakal atau pengayom warga setempat, yang tak lain Eyang Jogoniti dan Eyang Troyuda.
Menurut ingatan Wignyo, nama tempat Gebangkoro bermula adanya Pohon Gebang yang tumbuh di area semacam teluk di mana di kanan kirinya merupakan lereng perbukitan rindang. Merambat di bagian batang pohon tumbuhan bernama Koro (tanaman merambat jenis kacang-kacangan). Batang pangkalnya tumbuh di sekitar pohon Gebang, namun ujungnya menjalar sampai Padukuhan Kacangan, Desa Giripurwo dengan jarak sekitar 5 Km. Oleh sebab itu, tempat ini hingga sekarang dikenal dengan sebutan Gebangkoro.
Leluhur Eyang Jogoniti dan Eyang Troyuda sesuai cerita Wignyo merupakan tokoh pelarian asal Majapahit yang mengamankan diri saat kerajaan runtuh sekitar abad 16. Dikatakan sebagai perwujudan leluhur, awalnya pohon Gebang juga diyakini ada dua di areal tersebut, namun dinyatakan musnah sekitar tahun 1943, bersamaan dengan hilangnya habitat celeng (babi hutan) di wilayah itu menuju wilayah Kebumen karena terdesak pembukaan lahan pertanian oleh warga.
Saat Wignyo kecil, dahulu seingatan dia, di Gebangkoro terdapat dua rumah limasan beratap alang-alang. Saat ini hanya terdapat dua petilasan, semacam makam. Di tempat inilah ritual kenduri sekaligus kembul bujono (makan bersama) setelah Babat Dalan yang masih lestari hingga saat ini.
Manfaat yang diperoleh, selain diyakini mampu mendatangkan ketentraman dan keselamatan; juga dapat meningkatkan kerukunan; pemersatu warga yang beragam kepercayaannya. Sehingga tradisi patut untuk dilestarikan. Menu nasi uduk dan ingkung selalu ada acap kali tradisi dilaksanakan. Warga membawa uba rampe sesaji dan berbagai masakan tersebut dari kediamannya. Setelah rangkaian ritual doa permohonan, secara bersama warga menyantap masakan dengan menggunakan daun Jati sebagai pengganti piring. (Kandar)