Babad Alas Lo (1): Kisah Asal-Muasal Desa Logandeng

oleh -
oleh
Balai Desa Logandeng Kecamatan Playen. Foto: Stsujoko.
iklan dprd
Balai Desa Logandeng Kecamatan Playen. Foto: Stsujoko.
Balai Desa Logandeng Kecamatan Playen. Foto: Stsujoko.

Penulis: Stefanus Sujoko

KABARHANDAYANI,- Berawal dari beberapa pelarian Majapahit bersama para pengikutnya memasuki wilayah Redikidul (Gunungkidul sekarang). Salah satunya seorang Senopati perang dari Majapahit bernama Ki Pager Wasesa.

Pada akhirnya dalam pelariannya, Ki Pager Wasesa memutuskan untuk bertempat tinggal di hutan. Menjadi rakyat jelata adalah pilihannya agar bisa hidup tenang dan nyaman. Untuk bertahan hidup, berburu dan bertani adalah kegiatan yang dipilih untuk dilakoninya.

Ki Pager Wasesa  telah memiliki keahlian dalam bidang mengolah bahan baku besi menjadi senjata dan alat-alat pertanian. Profesi membuat alat-alat pertanian berbahan baku besi inilah yang membuat Ki Pager Wasesa dikenal sebagai Ki Pager Wesi.

iklan golkar idul fitri 2024

Selain sebagai pande besi, Ki Pager Wesi  juga dipercaya ahli dalam pengobatan. Kedua profesi inilah yang akhirnya membuat banyak orang datang dan atau bermukin di sekitar kediaman Ki Pager Wesi.

Sesuai kebiasaan masyarakat pada waktu itu, ketika hendak pergi ketempat Ki Pager Wesi, mereka menyebut pergi ke Mbah Pager atau pergi ke Pager. Tempat yang sebelumnya hutan ini diberi nama Pager sebagai penghormatan kepada Ki Pager Wesi.

Ki Pager Wesi menghabiskan sisa hidupnya sebagai rakyat biasa sampai meninggal. Masyarakat yang bertempat tinggal memakamkan beliau di sekitar Pager. Dipercaya, makam Mbah Pager ada di Desa Bandung Playen

Dikisahkan juga, dalam pelariannya dari Majapahit, Ki Pager Wasesa bersama Nyi Andan Sari adik perempuannya. Nyi Andan Sari inilah yang dipercaya sebagai cikal bakal Desa Bandung. Sebuah wilayah di sebelah barat Pager.

Sepeninggal Ki Pager Wesi, di arah selatan hadirlah pengembara yang juga pelarian dari Majapahit. Hutan yang masih lebat dijadikan tempat terakhir untuk bertempat tinggal. Pengembara tersebut dikenal sebagai Ki Jogurdo.

Sebagai pendatang di wilayah tersebut, Ki Jogurdo menggunakan kemampuannya dalam ilmu kanuragannya sebagai sarana pengobatan. Adalah pilihannya untuk memulai hidup di tempat yang baru. Sebagai orang yang dianggap ahli dalam pengobatan, Ki Jogurdo banyak didatangi orang-orang dari berbagai wilayah, termasuk yang berasal dari Pager.

Banyak orang yang datang dan bermukim di dekat Ki Jogurdo. Keadaan ini membuat Ki Jogurdo memutuskan untuk setiap hari Senin Kliwon, bersama warga yang bermukim, memperluas wilayah pemukimannya. Hutan lebat yang kaya raya, subur dan tersedia berbagai kebutuhan hidup di kala itu diberi nama Bumi Siono.

Sebagai manifestasi dari sebuah bumi yang berisi, atau dalam bahasa Jawa disebut “Isine Ono”.  Artinya, bahwa wilayah yang didiami Ki Jogurdo dan pendatang berikutnya telah menyediakan segala sesuatunya.

Kemampuan Ki Jogurdo dalam ilmu kanuragan digunakan untuk tetap menjaga area hutannya. Ki Jogurdo pun menghabiskan sisa hidupnya di bumi yang sangat makmur karena kekayaan alamnya. Ki Jogurdo wafat dan dimakamkan di dekat pemukiman. Keberadaan sebuah makam di wilayah Wit Ijo dipercaya sebagai makam Ki Jogurdo. Sekarang berada di perbatasan Siyono Kulon dan Tengah.

Semasa Ki Jogurdo masih hidup, tersebutlah Ki Josingo. Seorang pelarian Majapahit dari arah yang sama. Ki Josingo yang sakti mandraguna ini memilih menempati wilayah yang dibatasi oleh sungai. Ki Josingo menempati wilayah antara wilayah warga Ki Pager Wesi dan wilayah warga Ki Jogurdo.

Wilayah yang berdekatan dengan Alas Jati Gandhok yang Ki Jogurdo pilih untuk bermukim. Menjadi resi dan mengobati warga adalah profesi yang dilakukan agar bisa membaur dengan warga dari kedua wilayah yang lebih dulu menempati.

Sebagai seorang resi yang mampu mengobati penyakit, Ki Jogurdo menjadikan olah batin dan olah kanuragan sebagai metode pengobatannya. Dalam olah batin, gamelan pun dijadikan sarana pengobatan. Ki Jogurdo beberapa kelompok kesenian untuk syiar kebatinan dan mendukung metode pengobatannya.

Tersebutlah sebuah hutan Alas Mblengkok yang angker dan banyak dihuni penjahat. Alas Mblengkok membuat resah warga wilayah Pager dan Jati Gandok. Keresahan tersebut membuat warga kedua wilayah membuat keputusan untuk babat alas. Atas keinginan warga dari kedua wilayah tersebut, Ki Josingo melaksanakan Babat Alas Blengkok pada hari Senin Pahing. Akhirnya Alas Blengkok ditetapkan sebagai tapal batas antara wilayah Jati Gandok dengan wilayah Pager.

Blengkok yang berarti tikungan atau plengkungan jalan menjadi kata Plembongan. Hingga sampai sekarang wilayah tersebut lebih di kenal dengan kata Plembongan atau Plembon.

Demikianlah ketiga wilayah terbentuk bahu membahu saling membantu dan saling membutuhkan. (Stefanus Sujoko/Tty)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar