NGLIPAR, (KH),– Embung Batara Sriten berada di ketinggian 859 meter di atas permukaan laut (dpl). Embung buatan tersebut terletak di puncak tertinggi Zona pegunungan Batur Agung Utara, tepatnya di Padukuhan Sriten, Kalurahan Pilangrejo, Kapanewon Nglipar, Gunungkidul.
Nama Batara adalah akronim dari nama Batur Agung dan Rahayu. Menurut penuturan Bilal (28), salah seorang pengelola Embung Batara Sriten, nama Batur Agung adalah nama sebuah bukit di samping embung, dan nama Rahayu adalah sebuah kata yang berarti “harapan untuk selalu lestari”.
“Karena embung lokasinya terletak di Padukuhan Sriten, maka nama Batara Sriten disematkan sebagai nama embung ini,” cerita Bilal.
“Nama Rahayu kebetulan merupakan nama Kelompok Tani masyarakat Padukuhan Sriten yang mengelola kebun buah di area bawah Embung,” lanjut pria satu anak yang sering disapa kang Bill ini.
Sambung dia, kelompok pengelola Embung Sriten awalnya terbentuk dari program Kemendagri, yaitu Program Pelestarian Lahan Kritis dan Sumber Daya Air Berbasis Masyarakat (PPLKSDA-BM). dari program ini kemudian dibentuk Kelompok tani yang mengelola kebun buah yang bernama kelompok tani Rahayu. Dari situ akhirnya nama bukit di sebelah embung dan nama kelompok pengelola diakronimkan menjadi nama Embung Batara Sriten.
Diresmikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX di tahun 2014, proyeksi utama fungsi dari embung ini sebenarnya sebagai PAH atau Penampung Air Hujan. PAH sedianya dimusim kemarau dapat digunakan untuk menyirami kebun buah di lereng-lereng di bawahnya. Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan booming wisata Gunungkidul, Embung Batara Sriten menjadi salah satu destinasi wisata menarik di Gunungkidul, dan bisa menjadi destinasi alternatif wisata selain pantai.
Embung yang keberadaannya sempat viral menjadi embung buatan tertinggi di DIY dan Jawa Tengah ini memang menawarkan sejuta pesona, berupa pemandangan alam dari ketinggian.
“Ada beberapa Paket Wisata yang Kami tawarkan, di antaranya, outbond, jelajah medan, susur sungai, sepeda gunung dan Bird Watching” tutur Bilal.
“Sebelum Pandemi, banyak wisatawan dari luar kota yang berkunjung, jika akhir pekan banyak wisatawan yang mengajak keluarganya untuk Camping di sini, pertimbangannya, kendaraan bisa sampai ke puncak,” lanjut Bilal.
Banyak potensi Batara Sriten belum maksimal dikembangkan. Ke depan Bilal dan pengelola akan banyak melakukan inovasi, salah satunya adalah pengembangan wisata Terbang layang/ Paralayang.
Pengalaman Penulis Berkemah di Embung Sriten
Penasaran dengan cerita Bilal, maka, Sabtu sore di-penghujung tahun kemarin, Kami sekeluarga dan beberapa teman mengagendakan untuk berkegiatan camping di puncak Sriten. Sengaja kami membawa serta anak-anak. Di samping untuk menghibur mereka yang sudah terlalu lama mengalami kebosanan akibat BDR, kegiatan ini bisa dijadikan Tadabur alam dan wahana bagi anak-anak untuk belajar mencintai alam sejak dini.
Hujan deras yang mengguyur Gunungkidul dari siang, tidak menyurutkan niat kami untuk tetap berangkat. Karena kegiatan ini memang sudah dipersiapkan sebelumnya. Setelah melalui perjuangan menempuh medan jalan fullblok yang naik dan berliku, kami tiba di puncak Batara Sriten menjelang Maghrib.
Kedatangan kami disambut oleh hawa dingin yang merasuk. Beberapa saat kemudian kabut nampak mulai turun. Sesaat setelah menyiapkan tenda untuk anak anak, maka laiknya kegiatan berkemah, masak memasak dan bakar membakar bekal yang kami bawa dari rumah segera dimulai kemudian di akhiri dengan acara makan bersama yang meriah. Alhamdulillah, malam itu hujan tidak turun di puncak Sriten. Bulan tampak redup, samar bersembunyi di balik awan dan kabut tipis.
Di-akhir pekan itu, beberapa rombongan yang lain tampak juga sedang mempersiapkan tenda untuk berkemah. Hawa dingin semakin merasuk, setelah memastikan anak-anak aman tidur di dalam tenda, malam itu kami habiskan untuk ngobrol dan menikmati panasnya kopi sampai kantuk menghampiri dan mengantar mata kami terpejam.
Saat pagi menjelang, pemandangan alam yang tersaji di depan mata sungguh luar biasa. Dari arah timur, Sunrise jingga tampak mulai menyala dengan latar belakang Gunung Lawu yang tertutup awan. Menebar pandangan ke utara tampak sebagian wilayah Kapanewon Gedangsari, dan wilayah Jawa tengah menghampar sejauh mata memandang, berlatar belakang puncak Gunung Merapi dan Merbabu. Agak ke timur Waduk Gajahmungkur dan Rawa Jombor tampak samar berselimut awan tipis.
Pemandangan ke Selatan, hampir seluruh wilayah Gunungkidul tampak membentang, garis cakrawala pegunungan seribu dan pantai selatan Jawa, sambung menyambung dengan pegunungan di wilayah Kapanewon Semin dan Kabupaten Wonogiri. Di bawah cakrawala tampak gumpalan awan layaknya bulu bulu domba berwarna putih diselimuti kabut yang mulai naik dan pelan-pelan menghilang terkena sinar Matahari pagi.
Sungguh pemandangan yang luar biasa, kami merasa seperti sedang berada di negeri atas awan. Setelah puas berfoto-foto panas Matahari mulai terasa di kulit. Kami mulai berkemas, tak lupa kami ajak anak -anak untuk membersihkan tempat kami berkemah dari sisa-sisa perbekalan yang kami bawa.
Dalam perjalanan pulang, kesan yang luar biasa masih melekat di benak kami, betapa memang Bumi Gunungkidul menyimpan berjuta pesona dan potensi yang luar biasa. Pengelolaan yang benar tentu kelak akan membawa kesejahteraan yang nyata bagi masyarakat Gunungkidul.
Penulis : Edi Padmo