Ditulis ulang oleh: Tulus Djoko Sarwono.
KABARHANDAYANI,– Wilayah Kabupaten Gunungkidul memang dikenal sebagai daerah pelarian. Banyak cerita tentang terjadinya nama daerah yang dihubungkan dengan adanya pelarian prajurit dari Majapahit.
Pada abad ke 13 terjadi perang besar yang disebut geger Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Demak. Geger diawali dengan ketidaksetujuan Brawijaya (Raja Majapahit) terhadap Raden Patah (Raja Demak) yang menginginkan Kerajaan Majapahit menjadi kerajaan Islam.
Karena kalah, Brawijaya beserta prajuritnya lari ke arah barat. Beberapa rombongan prajurit sampai ke bumi Gunungkidul. Yang sampai di Karangmojo, prajurit Wisangsanjaya dan istri yang kemudian meninggalkan tradisi Cingcing Goling.
Yang sampai di Gunungkidul bagian selatan, ada tiga prajurit Majapahit masing-masing bernama Sukaroto, Dimanoto dan Sujatmiko. Karena merasa lelah, ketiga prajurit berteduh di bawah pohon tepus yang besar dan rindang, Mereka merasa nyaman berteduh di bawah pohon tepus. Karena merasa nyaman, mereka bersumpah setelah aman, lepas dari kejaran kerajaan Demak, tempat tersebut diberi nama Desa Tepus.
Menurut Kepala Desa Tepus, Desa Tepus terletak di bukit gamping di kawasan pegunungan seribu. Sebelah timur berbatas Desa Purwodadi. Sebelah selatan laut selatan. Sebelah barat Desa Sidoharjo. Sebelah utara Desa Sumberwungu.
Sedangkan pohon tepus sebagai cikal bakal nama Desa Tepus, terletak di Pedukuhan Tepus I sebelah timur simpang empat Dusun Tepus.
Sesuai dengan perkembangan jaman pada Tahun 1875 sudah mulai ada pemerintah desa yang dikepalai seorang bekel. Sosetiko (nama samaran karena dia seorang pelarian) memimpin Desa Tepus dari Tahun 1875 s/d 1909 dengan sistem pemerintahan asih run-temurun.
Dari Sosetiko jabatan diserahkan kepada putranya Karsosuwito, menjabat bekel dari 1909 s.d 1945. Pada masa penjajahan Belanda , pusat pemerintahan kecamatan bertempat di Desa Tepus, tepatnya di Pedukuhan Tepus I sekarang.
Pada awal mula ada kecamatan yang pada waktu itu disebut Asisten dipimpin oleh seorang Wedono yang membawahi 18 kelurahan. Dengan pertimbangan geografis, wilayah kecamatan agar berada ditengah-tengah dari 18 kalurahan, maka lokasi kecamatan dipindah ke Bintaos Sidoharjo pada tahun 1933.
Setelah Indonesia merdeka ada pembenahan terhadap desa. Desa-desa yang tidak memenuhi syarat dalam hal jumlah penduduknya tidak cukup banyak, maka desa desa tersebut akan digabungan.
Tahun 1946 Desa Tepus merupakan desa gabungan dari 3 Desa Blekonang yang dipimpin Rakiyo, Desa Dloka yang dipimpin Sastrohandoyo, dan Desa Tepus yang dipimpin Karsosuwito. Untuk menentukan pemimpin desa gabungan tersebut, diadakan pemilihan pemimpin desa dengan sistem bitingan yang hasilnya dimenangkan Noto Wardoyo. Jabatan sebagai Kepala Desa Tepus dipegang Noto Wardoyo dari tahun 1946 s/d 1965.
Pengisian jabatan kepala desa pada Tahun 1967 dilakukan dengan sistim dipilih oleh DPRD dan Tokoh Masyarakat. Dalam pemilihan dimenangkan Pawirosuwito putra Karsosuwito. Pada Tahun 1984 Pawirosuwito diganti Broto Riyanto sampai sekarang.
Sumber: Broto Riyanto, Wisnu, Mahasiswa UGM, dan Subandi (putra Notowardoyo).