NGLIPAR, Kabarhandayani.– Handayani, itulah slogan Kabupaten Gunungkidul. Di lambangnya, terdapat padi dan kapas sebagai lambang kemakmuran rakyat, kemakmuran alamnya.
Madu merupakan salah satu kekayaan alam yang diproduksi olek lebah. Di Gunungkidul utara, madu alam masih banyak tersedia di alam yang masih benar-benar hijau. Seperti Padukuhan Sriten dan Ngangkruk, Pilangrejo, Nglipar misalnya, Padukuhan terpencil yang berada di lereng pegunungan Batur Agung ini memiliki kawasan hutan yang banyak ditinggali lebah madu.
“Hutan yang membatasi serta mengelilingi kawasan Ngangkruk-Sriten merupakan tempat yang sangat ideal untuk tempat tinggal tawon madu liar. Karena di hutan ini banyak sekali celah-celah batu, pepohonan berlubang, serta tebing kering yang sangat cocok untuk tempat tinggal madu,” ujar Pariyadi, Warga Sriten yang kesehariannya sering mencari rumput pakan ternak sambil mencari madu.
Wasimin, warga Sriten yang ditemui Kabarhandayani pada Rabu (14/5/2014) ketika pulang dari menjual madu ke seseorang yang memesan menerangkan harga madu cukup menggiurkan,”Saya tadi dari jual madu ke Natah mas, di sana madu kami dihargai Rp.200.000,00 per botol. Saya membawa dua botol langsung dibayar 400.000,00,” jelas Wasimin.
Pariyadi dan Wasimin adalah sebagian dari puluhan orang pencari madu di Padukuhan Sriten. Dari 3 Padukuhan yakni Ngangkruk, Sriten, serta Pringombo (Padukuhan Pringombo terletak di Kelurahan Natah, Nglipar, Gunungkidul), para pencari madu memasang harga sama yakni Rp.200.000.00/botol. Botol yang digunakan adalah botol syrup ukuran 585 Mili liter.
Pariyadi menjelaskan teknik mencari madunya melalui tanda-tanda yang dibuat oleh tawon madu. “Ketika sore atau pagi hari, tawon madu mudah untuk diikuti arah terbangnya. Biasanya terlihat lebih besar dan lebih jelas. Selain itu, kami juga mengamati kotoran tawon di dedaunan atau bebatuan. Karena encer dan sambil terbang, maka arah tawon terbang dapat ditebak melalui bagian lancip (ujung) kotoran tawon tersebut,” jelas pariyadi.
Mencari madu bukan pekerjaan pokok, melainkan dilakukan sambil mencari rumput atau kayu bakar. Oleh karena itu hasil yang didapatkan pun tidak pasti tergantung musim dan keberuntungan. “Kami tidak pernah menyempatkan waktu khusus untuk mencari madu, hanya saat merumput atau cari kayu. Saat yang paling baik untuk mendapatkan madu melimpah adalah ketika bulan pertengahan jawa (bulan purnama), saat itu sarang tawon madu sedang aos (banyak) madunya. Disaat seperti itu, jika rejeki sedang baik-baiknya kami bisa mengumpulkan hingga 5 botol lebih,” imbuh Pariyadi.
Selain masyarakat mencari madu ke hutan, jika memungkinkan maka sang ratu lebah juga diboyong untuk dipelihara dalam glodogan atau kandang tawon dari pohon kelapa yang dibelah kemudian ditatah membentuk tabung.
“Agar panen bisa kami lakukan di sekitar pekarangan, kami membuat glodogan lalu memelihara tawon di dalamnya. Kami tidak memberi pakan ke tawon glodogan karena biarpun hasil madunya sedikit tapi harganya mahal karena murni,” pungkas Pariyadi. (Bill_s/Hfs)