GUNUNGKIDUL, (KH),– Puji Lestari merupakan perempuan muda bertalenta istimewa. Daya juang hidupnya hebat. Pembelajar yang gigih. Memiliki keberlainan fisik tak berarti menjadi obyek belas kasihan orang lain. Puji mampu mematahkan stigma yang sering disematkan kepada orang dengan disabilitas. Sekalipun tak memiliki telapak tangan dan jari ia gigih belajar mengoreskan kuas. Puji kini menjadi pelukis yang namanya kian dikenal.
Perempuan kelahiran 12 September 1997 di Dusun Mendak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul ini bersyukur memiliki orang tua dan keluarga yang sangat mencintai, merawat dan membesarkannya. Gemblengan untuk menjadi pribadi kuat dan berdaya terus terpupuk dari proses “bersekolah” di Pusrehab Yakkum Yogyakarta. Setidaknya ia mengikuti program pengembangan selama 5 tahun.
“Saat masuk usia saya menginjak 15 tahun. di Yakkum saya mendapat banyak pengalaman,” kata putri pasangan Mujiharjo dan Mujiyem ini beberapa waktu lalu.
Di Pusrehab Yakkun Puji mengikuti serangkaian kegiatan dalam rangka pengembangan diri. Karakternya dibentuk agar menjadi pribadi yang siap dengan berbagai situasi dan segenap tantangan. Sebab, kondisi disabilitasnya memungkinkan orang lain yang kurang peka dan tak berempati bisa saja melukai perasaan Puji. Puji memang punya dua tangan, namun tak berjari. Kondisi tersebut ia alami sejak lahir. Sikap orang-orang tak bertanggungjawab bisa saja melukai perasaannya. Terlebih, awalnya ia sempat minder atas kondisinya. Akan tetapi, berkat dukungan orang tua dan dampingan Pusrehab Yakkum, Puji pelan-pelan menjadi lebih percaya diri.
Setelah selesai mengikuti pendampingan di Pusrehab Yakkum, dia mantap dan percaya diri melanjutkan sekolah di SLB Panggang. Perjumpaan dengan kawan-kawan dengan disabilitas di sekolah formal makin memantapkan penerimaan diri dan rasa syukurnya.
Ia tidak merasa sendirian berjuang. Puji terus berusaha melukis perjalanan hidup menjadi penuh makna. Puji menekuni minat besarnya pada dunia seni lukis. Ia belajar melukis dari nol. Ia sempat menyebutkan nama Iwan dan Ahid sebagai gurunya.
Disela belajar di SLB ia pelan-pelan mengasah kemampuannya melukis. Ada nama Iwan yang kemudian disebut menjadi gurunya. Dia diajak belajar bersama-sama, bagaimana membuat garis, sket, memadukan warna dan seluk beluk lain soal melukis.
Di SLB kepecayaan dirinya makin terdongkrak. Di sana ia banyak menemui siswa lain yang kondisinya tak seberuntung Puji. Ada siswa lain dengan kondisi autis, down syndrome dan lain-lain.
Selepas menuntaskan belajar di SLB ia mengaku sempat berhenti melukis. Terlebih setelah Puji dipersunting pria yang jatuh hati padanya. Puji punya kesibukan baru. Menjadi ibu rumah tangga dan mengurus putrinya, Indah Nurhidayah. Berhenti total dari kegiatan melukis cukup lama. Kurang lebih 5 tahun lamanya.
Guncangan hebat kembali Puji alami. Persis setelah ia mengutarakan kepada sang suami hendak kembali melukis. Dorongan kembali melukis saat itu hadir cukup kuat. Sayang, sang suami tak mengijinkan. Berkelindan dengan persoalan lain, keharmonisan rumah tangganya lantas goyah. Berlarut-larut tak kunjung mambaik. Waktu kemudian menjawab, akhir keretakan rumah tangga berujung pada perceraian. Puji sempat kehilangan fokus menatap masa depan. Hari-hariya dirundung kesedihan. Ceceran semangat pelan-pelan ia kumpulkan. Setelah Puji kemudian bertemu Ahid, Dewan Kebudayaan yang ditugaskan di desanya, ia mantap dan yakin kembali produktif melukis.
Pak Iwan lagi-lagi menjadi gurunya. Pria yang hobi melukis dan tinggal tak jauh daru kediaman Puji telaten membersamai Puji belajar.
Pertemuan dengan siapapun juga dimaknai Puji sebagai proses belajar. Puji telah membuktikan, bahwa ide-kreativitas-kemampuan yang ia tuangkan dalam karya lukisnya melampaui keterbatasan fisik yang ada pada dirinya.
Pertemuan Puji dengan rekan-rekan komunitas pelukis Gunungkidul makin membuat dirinya produktif berkarya. Bersama Komunitas Wening, yaitu komunitas pelukis perempuan Gunungkidul, pada awal 2021 lalu ia pertama kali menampilkan karya lukisnya melalui pameran seni rupa di aula DPRD Gunungkidul.
“Saya terus berusaha bangkit dan bergiat mengikuti berbagai event pameran di Gunungkidul maupun di Jogja Kota. Saya bangga dengan capaian ini,” tutur Puji.
Puji juga pernah terpilih sebagai pelukis untuk menggelar karyanya dalam event Jogja International Disability Arts Biennale pada Oktober 2021 silam.
Cukup banyak kegiatan yang akhirnya dia ikuti. Puji yang kemudian mengenalkan nama panggung Puji GS ini selalu tersanjung manakala ada pengunjung pameran yang menikmati karyanya. Apalagi, sesekali ada yang membelinya.
Beberapa pameran yang pernah ia ikuti antara lain; 09-15 November 2020 – pameran seni rupa virtual suargo Mengo, Gunungkidul; 10-12 April 2021 pameran “Wening” – Eman-Eman wanita (Perupa Perempuan Gunungkidul); 15 juli 2021- pameran seni rupa virtual Rima Rupa #1, Gallery R. J. Katamsi, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.
04 Agustus 2021 berjuang melalui lukisan British Counsil; 26 September – 2 October 2021 – Virtual gallery Mangarteni # 5; 19-30 December 2021, Rima Rupa #2, Jogja International Disability Arts Biennale di Galeri R. J. Katamsi, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta; 15-18 September 2021 pameran seni rupa Napak Tilas Mereka Rekam. Gunungkidul. 1-12 Agustus 2022 – Workshop/Pameran Live Painting dan Mural Edukasi “Negeri Merdeka, Seni Nusantara”, Dinas Pertanian Gunungkidul, Yogyakarta.
Ketika ditanya, inisial GS ini ternyata akronim dari Girisekar, nama desa tempat dirinya lahir dan dibesarkan. Girisekar apabila dibalik bisa bermakna bunga (sekar) dari gunung (giri), bunga indah dari gunung. Bukankah seorang Puji Lestari adalah lukisan penerimaan diri, ucap syukur, keindahan, keharuman, dan gerak hidup yang menembus batas? Lukisan dari siapa dan bagi siapa? Bagi tempat kelahirannya dan bagi siapapun, tanpa memandang keberlainan baik fisik maupun psikis dari setiap ciptaanNya.
Puji menegaskan, ia akan terus isi hidupnya dengan melukis. Berimajinasi dan menggoreskan kuas ke kanvas menggunakan dua lengan tanpa telapak tangan serta mengugnakan kaki. (Kandar)