WONOSARI,(KH).– Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang bersifat kronis. Berat artinya merupakan jenis gangguan jiwa dengan tingkat keparahan gejala dan dampak terberat dibandingkan jenis gangguan jiwa lainnya, sedangkan kronis bermakna kondisi penyakit ini cenderung dialami menahun.
Skizofrenia dapat ditangani dengan pengobatan medis. Penderita dapat tetap beraktivitas normal dan bekerja produktif sebagaimana biasanya, asalkan mendapatkan pengobatan yang teratur.
Sayangnya, di tengah masyarakat masih ada pemahaman dan keyakinan yang keliru dan tidak komprehensif dari penderita itu sendiri, atau keluarga yang merawatnya, dan masyarakat. Jangankan dipahami secara medis dan psikologis, masih ada banyak kejadian dan anggapan bahwa gangguan jiwa disebabkan karena “dikerjai orang”, kena guna-guna, santet, diganggu makhluk halus, dan lain-lain sejenisnya. Berbeloknya pemahaman dan anggapan ini tentunya akan mempersulit upaya penyembuhan dan penanganan.
Masyarakat terkadang juga masih terstigma terhadap gangguan kejiwaan sebagai sesuatu aib keluarga. Sesuatu yang jijik yang mengotori masyarakat. Pun demikian, dalam pergaulan dan komunikasi sosial masih dijumpai ada yang dengan bangga menyematkan kata “gila” atau “edan” pada penderita gangguan jiwa yang sesungguhnya butuh kesembuhan. Kemudian mempersempit masalah ini hanya menjadi ranah tugas Dinas Sosial, Satpol PP, Kepolisian, atau pihak RS Ghrasia saja.
Masih kentalnya keyakinan seperti ungkapan “wong edan lan ayan kudu den singkiri” merupakan cermin adanya diskriminasi sosial tersebut. Padahal gangguan kejiwaan tidak pilih-pilih orang. Penyakit yang dapat terjadi pada siapa saja dan kapan saja, tidak memilih status sosial, juga status keagamaan atau keimanan seseorang.
Dalam siaran pers menyambut Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 10 Oktober, PDSKJI Cabang Yogyakarta merilis, jumlah penderita skizofrenia di Indonesia sebanyak berjumlah 1,72 per seribu penduduk atau sekitar 400 ribu orang. Sebanyak 14,3% atau sekitar 57 ribu orang dengan gangguan jiwa berat ini pernah dipasung. Ini berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013 dari Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2014.
Penyebab skizofrenia bersifat multifaktorial, yakni: faktor biologi, psikologi, dan sosial. Secara biologi diduga karena adanya zat kimia di otak bernama dopamin yang mengalami hiperaktivitas, sehingga hal ini berpengaruh terhadap kemampuan menilai realita dan tilikan dirinya.
Penderita skizofrenia dapat mengalami halusinasi dengar (mendengar suara yang tidak ada sumbernya dan hanya dia sendiri yang mendengarnya), halusinasi penglihatan (melihat sesuatu yang hanya dia sendiri yang mampu melihatnya), dan halusinasi panca indera lainnya.
Selain itu, penderita juga dapat mengalami waham, yakni keyakinan palsu yang tidak dapat diubah. Penderita mengalami hidup di dalam wahamnya, seperti waham curiga, waham aneh yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.
Gejala lain adalah kekacauan berfikir dan berperilaku yang berdampak pada kualitas hidup seseorang. Dari berbagai literatur disebutkan, bahwa mereka yang memiliki kepribadian skizoid (cenderung tertutup dan sensitif) memiliki risiko lebih besar untuk menderita skizofrenia dari pada jenis kepribadian yang lainnya.
Dari sisi sosial, terkait dengan adanya pengalaman traumatik dalam fase kehidupan dan juga beban hidup yang berakibat stres yang berat serta berkepanjangan dapat menjadi pemicu terjadinya gangguan kejiwaan.
Pada dasarnya penderita skizofrenia bila diintervensi lebih dini dapat dipulihkan, namun sayangnya mereka sering terlambat datang ke psikiater. Salah satu penyebabnya adalah ketidaktahuan masyarakat bahwa skizofrenia merupakan gangguan medis yang bisa diobati.
Selain itu, kendala lainnya adalah masih ada stigma di masyarakat yang menganggap skizofrenia disebabkan oleh faktor supranatural yang disebabkan oleh hal-hal gaib. Penderita dan keluarganya lebih banyak datang kepada pengobat tradisionil dan tokoh agama sehingga sering terlambat mendapat pertolongan medis.
Masalah kesehatan jiwa adalah masalah “kekitaan”. Artinya semua komponen baik penderita, keluarga, masyarakat, penyedia layanan medis, maupun pemerintah berperan penting dalam penanganan penyakit ini.
Penanganan gangguan jiwa yang tidak semestinya berdampak pada kronisnya gejala. Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa berat yang sebenarnya bisa dipulihkan. Dengan pendekatan secara biologi, psikologi dan sosial mereka bisa berperan optimal.
Masih terjadinya pemasungan adalah dampak tidak tertanganinya skizofrenia dengan baik. Momentum hari kesehatan jiwa sedunia ini dengan tema Living with Schizophrenia diharapkan membuka kesadaran seluruh komponen untuk lebih peduli pada sesama. (Juju/Jjw).
———-
Foto: Lukisan “Jendela Masa Kecil” karya Lili Suwardi (Anta Samsara), seorang dengan skizofrenia yang aktif menjadi penulis, pelukis, dan pegiat sosial penanganan kesehatan jiwa. Dipamerkan saat acara Hospital Without Wall di Gallery Cipta Taman Ismail Marzuki Jakarta, Desember 2011.