“Di Kapanewon Gedangsari kemudian dipilih pendampingan untuk mengangkat usaha batik,” kata pendamping dari YPA MDR, Anjani Sekar Arum, Senin (9/10/2023).
Setelah praktek membatik, siswa yang terdiri dari jenjang SD, SMP, dan SMK juga dilatih mampu menyampaikan deskripsi perihal proses pembuatan dan seluk beluk batik. Saat ini ada 96 siswa yang tergabung dalam pelajar komunitas batik dari seluruh jenjang.
“Karena kami setiap bulan mendatangkan tamu, diantaranya kolektor batik. Momen ini juga kami manfaatkan untuk penjualan batik,” terang Anjani.
Model atau konsep penjualan itu pula yang membuat batik bikinan pelajar lebih bernilai. Harga kain batik buatan siswa dampingannya pernah menyentuh Rp750 ribu hingga Rp2.750.000.
Harga yang sepadan diperoleh siswa. Sebab, tak sebatas menjual batik, motif yang dibuat siswa juga disertai deskripsi filosofinya.
“Motif yang dibuat segala sesuatu yang dekat dengan siswa, ada motif mangga, pisang dan lain-lain,” lanjut Anjani.
Selanjutnya, YPA MDR berharap sekolah-sekolah di Gedangsari bisa berkegiatan secara mandiri pasca pembentukan komunitas pembatik cilik terwujud.
“Akan kami dorong pembukaan kampung wisata edukasi batik,” tegas Anjani.
Selain mengangkat kembali potensi wilayah setempat, pihaknya ingin meregenerasi pembatik asal Gedangsari. Agar kedepan tentu saja potensi yang dimiliki Gedangsari tidak putus atau berhenti.
Pembentukan kampung wisata edukasi menjadi target kedepan setelah batik sudah berhasil masuk dalam kurikulum pembelajaran, tepatnya menjadi mata pelajaran muatan lokal.
Guru Pendamping Muatan Lokal Batik SD Tengklik, Wahyuni menyampaikan, seluruh siswa di sekolahannya telah memperoleh materi muatan lokal batik.
“Untuk yang sudah masuk tahapan praktek kelas atas saja. Mereka sudah membuat banyak motif batik,” ujarnya. (Kandar)