WONOSARI, (KH),– Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir 2015-2017, Kecamatan Wonosari menempati urutan teratas dengan jumlah kasus percobaan dan warga meninggal akibat bunuh diri. Setidaknya 12 warga diantaranya melakukan percobaan dan sebagian besar meninggal secara bunuh diri.
Dalam kurun waktu yang sama, menyusul Kecamatan Semanu dan Playen. Dimana jumlah warga yang melakukan percobaan dan meninggal akibat bunuh diri di masing-masing wilayah berjumlah 10 dan 9. Data dan fakta ini terungkap pada Focus Group Discussion (FGD) lanjutan mengenai pencegahan dan penanggulangan bunuh diri di Gunungkidul.
Dihadapan puluhan peserta yang tergabung ke dalam Satuan Tugas (Satgas) pencegahan, perwakilan beberapa instansi/ Organisasi Perangkat Daerah (OPD), Yayasan IMAJI atau Inti Mata Jiwa mengajak memahami lebih mendalam peristiwa bunuh diri.
“Harus kita patahkan stigma terhadap keluarga, hindari kecaman, hujatan, menghakimi, tidak sebarkan hoaks, tidak sebarkan foto vulgar dan lainnya agar tidak semakin menyakiti perasaan keluarga,” ajak Ketua Yayasan IMAJI, Jaka Yanuwidiasta saat menyampaikan data dan fakta bunuh diri di Gunungkidul di ruang rapat Pemkab Gunungkidul, Kamis, (9/11/2017).
Paparnya, upaya pencegahan dengan bergerak menolong sesama dapat dimulai dari peduli diri sendiri, keluarga, dan tetangga terdekat. Melihat, mendengar dan menemani bicara orang lain yang membutuhkan pertolongan. Lantas jika perlu, menyambungkan dengan professional terkait.
Hal paling rasional, pintu masuk pencegahan bunuh diri melalui ranah kesehatan jiwa. Sebagaimana diketahui, individu yang memutuskan bunuh diri juga melalui proses berfikir dalam sistem otak bukan respon feflek. Proses berfikir, berkata-kata, berperilaku, berperasaan, merupakan fungsi kesehatan jiwa seseorang.
Mengutip riset I Wayan Suwena, pada disertasi program doktoral FIB UGM 2016 lalu, terdapat kesimpulan bahwa bunuh diri jelas bukan karena pulung gantung, sehingga perlu kesadaran warga dan pemerintah untuk mencegahnya.
Beberapa catatan penting atas riset tersebut diantaranya; bahwa peristiwa bunuh diri di Gunungkidul merupakan tindakan simbolik dan proses komunikasi atau tangis minta tolong. Pelaku bunuh diri sebenarnya ingin menjalin komunikasi dengan orang lain untuk memecahkan masalah hidup yang tengah dihadapi, namun pelaku tidak mampu mengaksesnya.
Menurut Jaka, pemerintah daerah dapat mengantisipasi kejadian bunuh diri salah satunya dengan cara sosialisasi langsung, pembagian modul serta pedoman deteksi dini, dan pendampingan kelompok yang beresiko tinggi melakukan bunuh diri.
Sementara itu, Wakil Bupati Gunungkidul, DR. Immawan Wahyudi M.H, berharap, semua pihak diantaranya OPD, tokoh agama, LSM, tokoh masyarakat merespon bahwa tingginya kasus bunuh diri merupakan kasus kemanusiaan yang universal. Perlu dilihat dan segera melakukan penanganan dalam konteks yang lebih kongkrit untuk mengatasi masalah sosial bersama.
“Salah satunya mengantisipasi kejadian dengan peduli atau ngaruhke orang lain yang sedang menghadapi permasalahan apapun,” harap Immawan.
Himbauan yang ia berikan, respon secara prosedural bisa ditempuh. Dalam kasus ini beberapa pihak yang dapat bersinergi menjadi motor penggerak diantaranya Dinkes, Dinas sosial, dan Pemda bagian Kesra. Selanjutnya seluruh OPD terkait harus menyiapkan apa yang harus dilakukan. Disamping itu institusi pendidikan, seperti UGM, dan beberapa universitas lain bersedia turut berkontribusi dalam upaya peningkatan kesehatan jiwa masyarakat. (Kandar)