TEPUS, (KH) — Group Wayang Topeng “Panji Budaya” dari Luweng Ombo dan Danggolo Desa Purwadadi Tepus sukses menggelar pertunjukan di depan ratusan masyarakat Desa Purwadadi, dalam rangka perpisahan KKN Universitas Atmajaya, Rabu (21/1/2015). Ini adalah penampilan kembali di atas panggung setelah kelompok kesenian rakyat ini vakum dari kegiatan hampir selama 30 tahun.
Wayang topeng yang mengambil Lakon “Dewi Sekar Taji” dimainkan dengan apik. Meskipun merupakan pementasan yang sederhana, ratusan penonton dari anak-anak sampai orang tua antusias memadati lokasi pertunjukan.
Pertunjukan kesenian wayang topeng yang sudah tergolong langka ini ternyata memperoleh perhatian banyak pihak. Salah satunya, Gatot Nugroho Susanto, warga Kranon Kepek Wonosari yang tergerak untuk membantu kesenian rakyat ini untuk bisa tampil di Taman Budaya Yogyakarta.
“Kesenian ini sudah langka, tidak seperti kethoprak atau wayang kulit yang mudah ditemukan, baik pada acara pertunjukan langsung maupun di TV. Jadi, kesenian ini sangat layak didukung dan dihidupkan kembali sebagai salah satu kekayaan budaya Gunungkidul,” kata seorang pendamping masyarakat, khususnya wayang topeng ini di lokasi pertunjukan.
Suroyo, Kabag Pembangunan Desa Purwodadi menambahkan, perhatian berbagai pihak pada wayang topeng ini sudah mulai nampak. Ia berharap, ke depan wayang topeng ini tetap eksis.
Pertunjukan wayang topeng ini juga menarik menarik warga di luar Gunungkidul untuk datang menonton. Jupri dan Ditha sengaja datang dari Sleman untuk melengkapi penelitiannya tentang tari topeng. “Wayang topeng ini sudah langka. Pada tahun 80-an akhir saya melihat pertunjukan wayang topeng di daerah Bantul. Jadi, ketika saya mendengar kabar tentang pertunjukan ini, saya senang sekali dan tidak mau ketinggalan,” kata Ditha.
“Wayang topeng seperti ini sangat unik dalam sejarah perjalanannya. Dalam beberapa literatur, wayang topeng ini baru masuk ke Kasultanan Yogyakarta pada abad XVII sebagai salah satu kesenian hiburan rakyat” Jupri menambahkan.
Pertunjukan yang diawali dengan tarian dan dialog-dialog kocak, membuat penonton nampak semakin antusias. Walau secara garis besar anak-anak dan orang muda merasa kesulitan memahami alur cerita yang berlatar belakang Kerajaan Kediri, semua sepakat, bahwa kesenian ini harus dihidupkan kembali dan dilestarikan.
“Pertunjukan yang bagus. Walau saya kesulitan memahami cerita, karena minimnya pengetahuan dunia pewayangan. Paling tidak, membuat saya tertarik untuk memahami bahasa dan tokoh-tokoh wayang topeng ini” kata Haris Sudrajat, salah satu anggota Komunitas Gunungkidul Photography yang datang dari Playen untuk hunting photo budaya.
Pementasan wayang topeng ini pada umumnya berdurasi 6-8 jam. Dalam pertunjukkan malam tersebut dipersingkat menjadi sekitar 3 jam. Pertunjukan pada malam itu berakhir sekitar pukul 01.00 WIB. (Stefanus Sujoko).