PATUK,(KH)— Awan mendung menyelimuti Padukuhan Jelok Desa Beji Kecamatan Patuk Gunungkidul, Jumat (6/3/2015). Di ujung desa yang berbatasan langsung dengan Sungai Oya nampak belasan pemuda berkumpul dengan mengenakan pakaian adat Jawa.
Kaum muda terlihat membawa bendhe, sedangkan para orang tua membawa sesajen, ingkung, dan jajanan pasar yang ditaruh di atas nampan. Langkah kaki mereka mulai bergerak ke tengah persawahan seiring dengan pukulan ritmis alat musik pukul tersebut.
Thong..thong.. glong.. thong…thong…glong…, pukulan bendhe, dan bau kemenyan yang dibakar menambah suasana semakin sakral. Upacara boyongan Dewi Sri tahun ini pun dimulai. Puluhan masyarakat yang ingin menyaksikan ritual segera mengambil tempat di belakang iring-iringan.
Sumilir angin menyambut datangnya iring-iringan saat mereka sampai di tengah sawah. Satu persatu uba rampe yang dibawa diletakkan di salah satu tempat yang dipilih oleh modin atau sesepuh dusun. Pembacaan doa pun dimulai, peserta kirab langsung mengambil tempat di kanan kiri modin yang sedang membacakan doa.
Setelah doa sebagai perwujudan rasa syukur selesai dipanjatkan, modin bergegas berdiri dan mendekati padi yang siap dipanen. Satu demi satu padi dipotong dengan ani-ani. Padi yang dipotong kemudian diikat, setiap ikatan ada 2 padi yang disatukan. Setelah berjumlah 10 ikat, segera diserahakan kepada pemilik sawah.
Padi yang diserahkan oleh modin itu segera diletakan di atas kain selendang, dijajarkan berdampingan dengan sisir dan cermin yang sudah disiapkan. Penyimpanan ini merupakan tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat setempat.
Pemimpin ritual, Sukadi saat ditemui seusai acara mengatakan, tradisi Mboyong Dewi Sri merupakan tradisi turun temurun. Acara tersebut diakuinya sudah ada sejak dia masih kecil. Upacara tersebut digelar saat memasuki masa panen yang pertama.
“Tradisi ini tetap dijalankan oleh masyarakat, tetapi ritual dilaksanakan tidak bersamaan. Namun begitu tujuannya sama, yakni mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan hasil panen yang diberikan,” ujar Sukadi.
Masyarakat yang hidup di kampung Jelok meyakini, ritual Mboyong Dewi Sri dapat mendatangkan hasil panen yang melimpah di tahun berikutnya. Selain melestarikan budaya, prosesi ritual yang dilaksanakan juga mampu menarik wisatawan.
Usai doa bersama dan petik padi dilaksanakan, ubo rampe seperti jajanan pasar, sega liwet, kupat lepet, ingkung, dan buah-buahan kemudian dihidangkan dan dimakan bersama-sama di gubuk yang tidak jauh dari lokasi ritual.
Sukadi mengaku, 10 ikat padi yang disimpan akan kembali ditanam di masa tanam yang akan datang. “Nantinya padi yang tadi disimpan dalam selendang akan dicampur dengan benih baru sebelum ditanam.”ungkapnya.
Sugiman, sesepuh desa lainnya mengungkapkan, masyarakat meyakini bahwa acara yang mereka gelar bertentangan dengan kepercayaan yang mereka anut. Acara yang digelar merupakan wujud pelestarian budaya dan dianggap sebagai sodaqoh, karena uba rampe yang disediakan dimakan bersama-sama. (Juju)