Tunda Jual Dan Pengolahan, Cara Melawan Rendahnya Nilai Jual Singkong Saat Panen

oleh -9969 Dilihat
oleh
Petani wilayah selatan Gunungkidul memanen ketela. KH
Petani wilayah selatan Gunungkidul memanen ketela. doc. KH

GUNUNGKIDUL, (KH),– Saat panen tiba, hukum pasar selalu memaksa nilai jual hasil panen pertanian Gunungkidul turun. Saat ketersediaan komoditas dipasaran naik signifikan dipastikan harga-harga seperti jagung, kacang dan ketela serta beras cenderung merosot.

Untuk mengatasi hal tersebut, sebagaimana yang disampaikan Kepala Bidang Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP) Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Gunungkidul, Endang Sri Wahyuningsih, dengan cara tunda jual dan pengolahan.

Endang mengatakan, salah satu hasil panen yang selalu merosot nilai jualnya saat panen yakni ketela. Beberapa bulan kedepan, Gunungkidul akan memasuki masa panen ketela. Anjloknya harga dipastikan akan terulang.

Pihaknya menghimbau serta mengajak kepada masayarakat petani untuk mulai membuka pandangan baru untuk tak selalu menggunakan cara lama dan konvensional dalam mengolah ketela. Seperti diketahui masyarakat sebagian besar masih menjual ketela dalam bentuk gaplek atau ketela kering.

“Menunda jual dan mengawetkan masa simpan ketela agar lebih bernilai cobalah tidak dibikin gaplek, melainkan dibikin chips, atau dibuat tepung ketela biasa atau tepung ketela yang dimodifikasi (mocaf),” ungkap Endang.

Selain itu, agar ketela lebih bernilai jual lebih tinggi dapat diolah menjadi aneka produk turunan dari tepung ketela/ singkong atau tepung Modified Cassava Flour (Mocaf). Hanya saja, diakui kemauan dan kemampuan masyarakat masih terbatas.

Dilema lain yang menghambat strategi masyarakat untuk meningkatkan masa simpan dan nilai jual berupa adanya cuaca hujan saat masa panen. Terlepas dari kendala tersebut, ajakan kepada masyarakat serta upaya memberikan pengetahuan melalui berbagai pelatihan terus dilakukan.

Menurut Endang, kelompok yang benar-benar berniat dengan mengajukan permohonan ke Dinas Pertanian Dan Pangan akan lebih diprioritaskan untuk mendapat pelatihan pengolahan hasil pertanian. Sebab, pelatihan dapat menjadi sia-sia jika kelompok masyarakat yang dilatih tidak mengimplementasikan ilmu yang telah dipelajari.

Disebutkan, setidaknya saat ini ada 13 kelompok pengrajin mocaf di Gunungkidul yang telah rutin memproduksi tepung singkong, mocaf dan produk turunannya. Kepada 13 kelompok tersebut pihaknya juga selalu berpesan jika ada kelompok masyarakat yang hendak belajar bagaimana mengolah mocaf atau menjadi produk yang lain maka 13 kelompok pionir tersebut diminta untuk bersedia membantu dan mendampingi.

“Paling tidak untuk masyarakat di sekitar kelompok-kelompok pengolah mocaf tersebut ikut mendapat pemahaman dan pengetahuan baru tentang olahan singkong,” harap Endang.

Apabila nanti kelompok masyarakat semakin banyak yang dapat mengolah singkong menjadi tepung biasa dan tepung mocaf, harapannya dapat menjadi pemasok bahan bagi kelompok-kelompok pengolah tepung mocaf menjadi aneka produk siap konsumsi.

Dipaparkan Endang, belasan kelompok pengrajin mocaf yang tergabung ke dalam paguyuban “Surya Tani” saat ini telah mampu menghasilkan puluhan jenis produk, diantaranya jenis kue kering dan kue basah.

Jenis kue basah diantaranya; brownies, black forest, blu kukus, putu ayu, donat, kue kacang, kue lapis, mie, siomay, bakso, sosis, nugget, empek-empek dan untuk campuran produk lain. Sedangkan untuk jenis kue kering diantaranya; cookies, nastar, putrid salju, kastangel, lidah kucing, egg roll dan lain-lain.

Ketua KWT Putri 21, Suti Rahayu, salah satu kelompok pengrajin mocaf mengatakan, mocaf memiliki daya simpan yang lebih panjang dan nilai tambah terhadap singkong. Dikatakan, 1 kilogram mocaf dibuat dari 3 kilogram singkong.

“Harga mocaf per kilogram mencapai Rp. 16 ribu. Sementara harga singkong per kilogram hanya sekitar Rp. 1.000 hingga Rp. 1.500, bahkan terkadang lebih rendah,” tukasnya. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar