WONOSARI, (KH)— Mungkin tidak begitu diperhatikan, hal-hal dibalik wirausaha yang kini menjamur di ruang publik, titik kawasan ramai atau simpul-simpul jalan utama. Secara umum mungkin menilai bahwa wirausaha angkringan dikategorikan sebagai usaha mikro atau kecil.
Berikut penelusuran KH mengenai sisi lain penjualan makanan dan minuman yang identik menggunakan gerobak sekaligus tenda berbahan terpal itu. Ternyata terlibat kedalam bisnis tersebut mampu mendatangkan hasil yang cukup lumayan.
Seperti yang dilakukan Darwis (64) warga Padukuhan Madusari, Desa Wonosari ini. Ia menekuni usaha sebagai pengolah menu angkringan sejak 2010. Awalnya, usaha itu dilakukan bersama tetangganya, Wasno (Alm).
Saat masih terbilang ‘Jaya’, dahulu mereka menyuplai 20 angkringan sekaligus. Saat rekannya tersebut meninggal dunia, ia melanjutkan usaha tersebut bersama istrinya, Tupi. Adanya berbagai faktor, jumlah pedagang angkringan yang menerima setoran menu dari Darwis menurun.
“Ada yang tutup karena usia, ada juga yang kemudian memilih memasak sendiri, saat ini penjual angkringan yang mengambil menu ke tempat kami tinggal 6 pedagang saja,” tuturnya, Sabtu, (24/12/2016).
Selain itu, penjual asongan gorengan masih ada 10 orang. Sebagian besar berasal dari Singkar Wonosari, dan sebagian kecil dari Wareng. Untuk menu angkringan ada tiga jenis yang disediakan, yakni nasi bungkus, gorengan, dan lauk. Lauk meliputi ceker, kepala ayam, dan sate.
Setiap item menu yang diambil oleh pedagang angkringan dan asongan dijual lagi dengan selisih harga antara Rp. 100 hingga 500. Pengakuannya, dalam satu bulan ia mendapat penghasilan kotor hingga Rp. 15 juta.
“Untuk aneka bahan minuman disediakan sendiri oleh penjual angkringan. Untuk pedagang yang gerobaknya berasal dari kami, setiap selesai penjualan kita minta biaya perawatan gerobak Rp. 3000,” urainya.
Dalam menjalankan usaha penyedia menu angkringan ia mengaku tidak pernah melakukan hal-hal yang sembrono, karena pada akhirnya akan merugiakan dirinya sendiri. Tindakan seperti menggoreng ulang gorengan atau lauk saat tidak habis terjual tidak pernah ia lakukan.
“Kita ibaratkan saja apabila makanan daur ulang itu diberikan ke kita, kalau kita saja tidak mau maka tidak baik pula apabila dijual. Tanda menu angkringan digoreng ulang itu berwarna gelap kecoklatan, serta renyah, kaku dan alot,” terangnya. (Kandar)