GUNUNGKIDUL, (KH),– Bupati Gunungkidul Sunaryanta serius menyoroti kebiasaan orang hajatan. Utamanya dalam hal penyampaian undangan hajatan menggunakan makanan antaran. Dia mengaku menemukan fakta yang harus disikapi bersama.
Dalam adat atau kebiasaan hajatan, undangan yang disampaikan menggunakan makanan antaran dinilai memberatkan bagi yang diundang. Berbeda dengan yang hanya diundang menggunakan surat undangan saja. Sebab, warga yang diundang menggunakan makanan antaran merasa perlu hadir menyampaikan doa restu sekaligus ‘menyumbang’ atau ‘njagong’ dengan nominal uang yang lebih. Merasa tak pantas apabila nilai sumbangan sama dengan sumbangan para tamu yang diundang menggunakan surat saja.
“Hal ini memberatkan. Banyak warga yang kami temui mengeluh. Saya harap ini jadi perhatian bersama,” kata Sunaryanta beberapa waktu lalu saat melantik pengurus Paguyuban Semar. Paguyuban yang berisi lurah dan pamong di Kabupaten Gunungkidul.
Dia menegaskan tak bermaksud menghentikan atau melarang adat yang sudah menjadi tradisi tersebut. Akan tetapi, ajakan untuk menyikapinya dinilai perlu karena dampaknya bagi perekonomian cukup serius.
“Alokasi pengeluaran keluarga bisa membengkak saat sedang ‘musim’ orang hajatan. Sehingga alokasi untuk kebutuhan pokok, pendidikan atau kesehatan mau tak mau kalah,” imbuhnya.
Dia menegaskan, pengeluaran uang ‘nyumbang’ akan sangat mempengaruhui ‘dapur’ masyarakat dengan perekonomian menengah ke bawah. Gara-gara uang ‘sumbangan’ urusan yang jauh lebih pokok, seperti pendidikan, kesehatan serta bahan pangan yang bergizi bagi keluarga inti berisiko diabaikan.
“Dampaknya, salah satunya akan menghambat peningkatan SDM masyarakat. Mohon dipikit bersama. Namun, saya tidak bertujuan melarang. Mungkin yang lebih bijak yang ‘dipunjung’ terbatas bagi keluarga inti saja,” papar Sunaryanta.
Umum diketahui, penerima punjungan mengisi amplop saat ‘njagong’ jauh lebih banyak daripada penerima surat undangan sudah menjadi hal umrah. Meski tentu saja tak ada peraturan atau kesepakatan tertulis soal itu.
Ukuran rata-ratanya kurang lebih begini: penerima punjungan akan ‘njagong’ Rp100 ribu. Sementara penerima surat undangan akan ‘njagong’ antara Rp30 hingga Rp50 ribu. Tiap wilayah akan mengalami sedikit perbedaan soal nominal ini.
Perbedaan rata-rata uang ‘njagong’ juga bisa saja terjadi dengan berbagai pertimbangan masyarakat. Misalnya saja yang sedang menggelar pesta pernikahan masih berada dalam satu anggota keluarga, atau bagian dari trah keluarga besar. Kalau pemilik hajat masih punya ikatan saudara yang cukup dekat, maka ukuran ideal ‘njagong’ akan berbeda dengan ukuran saat ‘njagong’ ke hajatan teman atau tetangga.
Tokoh masyarakat, Slamet Raharjo menanggapi, kebiasaan ‘punjungan’ menjadi adat dan membudaya. Perlu pelan-pelan memberikan penyadaran apabila hendak dirubah.
“Para pimpinan baik di tingkat atas atau wilayah lingkup kapanewon atau kalurahan bisa mengawali dan memberi contoh. Yang ‘dipunjung’ atau diberi makanan antaran saat diundang untuk hadir di pesta pernikahan hanya sebatas keluarga besar atau inti saja. Nanti lama-lama masyarakat akan meniru,” terang Slamet. (Kandar)