PLAYEN, kabarhandayani.– Kebutuhan hidup masyarakat menuntut mereka untuk mencari jalan guna mendapatkan rupiah, bagi warga Gunungkidul menjual kayu adalah salah satu cara cepat untuk mendapatkan uang. Hal tersebut menyebabkan pengurangan jumlah pohon karena tidak ada kegiatan tanam kembali dari warga setelah menebang. Minimnya pohon berakar tunggang akan berakibat debit sumber air pun menurun karena kurangnya pohon untuk menyimpan air.
Hal tersebut menggerakkan kepedulian Siti Badriyah (47) warga Padukuhan Dengok V, Desa Dengok, Kecamatan Playen, Gunungkidul untuk mengubah pandangan warga dalam menyikapi alam dengan menanam pohon, berkat kegigihannya itu mengantarkannya memperoleh penghargaan kalpataru kategori pengabdi lingkungan tingkat nasional tahun 2012.
Wanita lulusan jurusan pendidikan matematika Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa pada tahun 1989 ini aktif dalam berorganisasi dan menyatakan kecintaannya terhadap lingkungan sejak kecil. Dimulai dari organisasi pramuka Ia pernah menjadi penggerak aksi menanam pohon di sekolahnya. Ia menanam pohon jati, buah-buahan dan bunga di sekeliling rumahnya meski struktur tanahnya kering dan tandus.
Wanita kelahiran 5 September 1967 ini menuturkan, berawal pada tahun 2004 ia bergabung dalam Paguyuban Pengelola Hutan Rakyat (PPHR) Ngudi Lestari di Dengok Playen dan aktif dalam kelompok tersebut seperti mengikuti diskusi, studi banding, sertifikasi hingga membuat Peraturan Desa (Perdes) yang intinya bahwa setiap warga yang menebang 1 pohon wajib menanam pohon minimal 5 pohon. Atas upayanya, pada tahun 2006, terbentuklah hutan rakyat dengan berbagai jenis pohon seperti jati, akasian, sengon, kelapa dan sebagainya di atas tanah seluas 229,10 hektar dan berhasil disertifikasi.
Menurut Siti, menggiring masyarakat untuk turut peduli dengan lingkungan merupakan perkara yang tidak mudah. Namun, kegigihan Siti bersama kelompoknya menyarankan akan issu global warming dan memberikan wawasan kepada masyarakat akan penyebab dan dampak dari pemanasan global tersebut seperti pembalakan liar, kemarau panjang, semakin maraknya teknologi praktis, minimnya pengelelolaan sampah dengan baik dan dampak pupuk non organik yang menghilangkan unsur hara tanah sehingga tanah menjadi keras.
“Kami membawa masyarkaat ke masa lampau ketika menggunakan pupuk organik maka hasil tanaman menjadi lebih bagus, subur dan tentunya tanah tetap gembur lalu perlahan masyarakat beralih ke pupuk organik. Sampah pun harus dipilah, ada yang dijadikan pupuk dan ada yang diolah menjadi barang yang bisa digunakan,” ungkap ibu tiga anak ini, Kamis (19/6/2014).
Siti pun menerapkan kegiatan tersebut di rumahnya dengan menanam pohon, menanam apotek hidup dan mengolah sampah plastik sebelum disosialisasikan kepada masyarakat. “Saya tidak pernah berharap akan mendapat penghargaan, yang penting mengikuti kegiatan kelompok dengan senang hati dan kegiatan saya bermanfaat untuk orang lain. Pada intinya bukan hanya sekedar bicara tetapi mampu menjadi contoh,” pungkasnya. (Mutiya/Hfs)