WONOSARI, (KH),– Popularitas batik semakin membaik dari waktu ke waktu. Memakai baju batik tidak lagi harus pada saat acara resmi saja. Identitas batik juga telah bergeser. Mulanya batik erat dikaitkan dengan pakaian bagi orang tua saja. Namun, saat ini tren anak muda memakai batik terus meningkat.
Hal tersebut terjadi berkat ‘tangan dingin’ pencipta motif batik serta ditambah sentuhan desainer. Batik berangsur menjadi tren fashion bagi anak muda. Selain model busana, banyak motif batik bermunculan mengikuti perkembangan. Bahkan di Gunungkidul saat ini ada beberapa motif batik karya warga Gunungkidul telah dipatenkan.
Salah satu Desainer asal Gunungkidul, Hesti Purwandari (31) mengatakan, setidaknya ada 8 motif batik asli Gunungkidul yang telah dipatenkan. Dari motif-motif yang ada dirinya mendesain busana menggunakan salah satu motif batik.
“Saya memilih motif Batik Amarylis untuk mengikuti event fashion show dan lomba,” ujarnya belum lama ini.
Hesti tidak sendiri memilih batik lokal kemudian dirancang menjadi karya busana. Rekan sesama desainer, Didik Warsito juga memilih motif batik lokal yang kemudian dirancang menjadi busana menarik. Jika Hesti memilih batik Amarylis, Didik Warsito memilih batik Walang
Menurut Hesti, motif batik lokal akan semakin populer jika pemasaran juga dilakukan melalui karya busana batik. Berdasar pengalamannya, setelah mengikuti sebuah pameran busana ada pesanan masuk di galeri busana El FATA yang ia dirikan.
“Maka praktis kami memesan kain batik ke pambatiknya,” imbuh Hesti.
Saat ini dirinya memiliki konsep desain busana yang telah direalisasikan menjadi produk jadi sebanyak 17 karya. Dua desain yang menjadi andalan yakni ‘Arbawaba’ dan Clorot Abrit Gunungkidul. Dua karya tersebut telah mengikuti event fashin show baik di Gunungkidl dan Yogyakarta. Dari keseluruhan konsep, rancangan busana tak melulu merupakan busana pesta.
Agar batik dan karya busana desainer lokal Gunungkidul semakin memasyarakat pihaknya menilai perlunya ruang dan kesempatan untuk mengekspose karya desainer-desainer lokal.
Berbicara fashion show, Gunungkidul ketinggalan dengan kabupaten lain di DIY. Menurut Hesti Gunungkidul tidak memiliki agenda rutin festival atau pameran busana karya desainer lokal. Dukungan pemerintah daerah sangat ia harapkan, sebab apabila melakukan pameran secara mandiri membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
“Tak harus menjadi agenda tunggal, namun pameran busana dapat diselipkan pada berbagai event milik Pemkab Gunungkidul,” sambung Hesti. Diungkapkan, hal tersebut sangat diharapkan oleh para desainer di Gunungkidul sebagai ajang aktualisasi karya yang dibuat. (kandar)