GUNUNGKIDUL, (KH) — Pekerjaan pertanian merupakan pekerjaan yang membutuhkan tenaga lebih. Para petani bekerja tergantung pada bergantinya musim yang berarti pekerjaan petani akan dilakukan secara serempak pada saat memasuki musim tertentu, terutama musim tanam.
Sudaryanto, petani yang tinggal di Desa Natah, Nglipar, Gunungkidul, menjelaskan alasan kenapa pekerjaan harus disegera diselesaikan pada saat memasuki musim hujan pertama (MH-1).
“Saya ambil contoh untuk tanaman jagung, jika ketinggalan menanam hingga 1 minggu dari petani yang menanam pertama kali atau sekitar dua minggu dari hujan pertama, maka buahnya tidak menghasilkan biji alias bogang. Itu sangat merugikan, apalagi biaya penanaman yang mahal seperti akhir-akhir ini.”, jelas Sudaryanto.
Tingginya biaya pertanian pada saat musim tanam juga dikuatkan oleh Harto, tetangga Sudaryanto. “Untuk membajak dengan traktor, kami mengeluarkan biaya Rp.300.000 per hari, dan ditambah upah pencangkul Rp.70.000 (dua orang), ditambah anggaran konsumsi. Ini bisa lebih murah jika ada kelompok sambatan (gotong royong).”, imbuh Harto.
Dengan sistem sambatan, para petani dari rumah penyambat membawa pupuk kandang, sampai di sawah para kaum laki-laki mencangkul dan kaum wanita menanam padi. Pekerjaan bisa selesai dalam sehari, kadang kurang tergantung jumlah massa dan luas lahan.
Budi Santoso, Warga pilangrejo menjelaskan untung ruginya sistem sambatan dibanding pertanian yang diburuhkan. “Dasar sambatan adalah kebersamaan, sedangkan tani mandiri adalah kemapanan. Kalau sudah mapan hidupnya, tapi tidak punya waktu untuk sambatan, maka tidak bisa nyambat. Bagi warga yang pekerjaan pokoknya sebagai petani, biasanya masih bisa meluangkan waktunya untuk sambatan, sehingga setiap pekerjaan pertanian seperti ini beban mereka bisa lebih ringan dibanding tani mandiri. Namun kami juga harus lebih sabar untuk menunggu giliran.”, jelas Budi.
Dalam prakteknya, sambatan tidak membutuhkan biaya semahal tani mandiri karena konsentrasi penyambat dititik beratkan pada penyediaan konsumsi secara sederhana, dan penyediaan bibit siap tanam, dan bersiap untuk sambatan ke lahan orang lain.
Dari pantauan Kabarhandayani, ada beberapa tempat di wilayah Gunungkidul utara yang masih ada kelompok masyarakat mengerjakan lahan secara sambatan, seperti wilayah utara kecamatan Gedangsari, Nglipar, Ngawen, dan beberapa titik wilayah Semin.
Sambatan merupakan budaya petani yang menjadi indikator kebersamaan, kerukunan, dan semangat gotong-royong masyarakat petani di wilayah Gunungkidul. Budaya yang harus dilestarikan. (Bill_S/Tty)