NGAWEN, (KH),– Senin, (17/1/2022) pagi percakapan antara seorang ibu di wilayah Kapanewon Ngawen dan anak laki-lakinya, TW masih terjalin. Si ibu kemudian pergi ke pasar. Begitu juga dengan anggota keluarga yang lain, masing-masing sibuk memulai aktivitas.
Si anak yang berusia 25 tahun itu kemudian mengunci diri di kamar. Kasubag Humas Polres Gunungkidul, AKP Suryanto menginformasikan, saat si ibu pulang dari pasar, tak hanya mendapati pintu kamar anaknya terkunci.
“Saat ibunya memanggil pun tidak ada jawaban. Karena penasaran ibunya berniat melihat anaknya di dalam kamar. Saat diintip dari celah pintu, ibunya mendapati anaknya gantung diri,” kata AKP Suryanto.
Si ibu yang panik lantas meminta bantuan. Peristiwa tersebut kemudian dilaporkan ke pihak berwajib. Si ibu tak menyangka, komunikasi dengan anaknya sebelum pergi ke pasar merupakan yang terakhir kali.
Pemeriksaan yang dilakukan pihak berwajib bersama petugas kesehatan tak mendapati tanda-tanda mencurigakan yang mengarah ke tindakan kriminalitas terhadap TW.
Peristiwa kematian TW dipastikan murni bunuh diri. Anggota Tagana yang turut melakukan assesment mendapati keterangan bahwa TW merupakan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Terpisah, psikiater RSUD Wonosari, dr. Ida Rochmawati sebelumnya pernah menyampaikan, pelaku bunuh diri sebelum melakukan tindakan bunuh diri diantaranya sedang dalam perawatan kesehatan, sengaja meninggalkan perawatan kesehatan, atau sebelumnya pernah mendapatkan perawatan kesehatan yang umumnya berkaitan dengan kejiwaan.
Menurutnya, fakta tersebut menjadi catatan penting dalam penanganan pencegahan bunuh diri.
“Melakukan upaya pencegahan bunuh diri sebenarnya juga melakukan perubahan mindset yang terbangun dalam masyarakat. Pencetus tindakan bunuh diri itu selalu multifaktor. Perlu penanganan yang menyeluruh. Memang, ranah yang paling berpengaruh secara langsung adalah faktor kesehatan mental atau kesehatan jiwa. Berbicara tentang kesehatan jiwa, terus terang kami juga menghadapi tantangan besar. Yang utama, meski ikatan sosial masyarakat itu masih sangat tinggi, saling tolong-menolong, tetapi stigma berupa aib atau sesuatu yang membuat malu itu masih dilekatkan pada penderita masalah kejiwaan dan juga keluarganya. Contoh sederhana, sebagian masyarakat masih memandang sinis, ketika melihat pasien kami yang sedang duduk mengantri di Poli Jiwa,” ujar Ida.
Stigma negatif bagi para penyandang masalah kejiwaan masih menjadi tantangan besar. Menurutnya, ini sebenarnya terkait erat dengan upaya pencegahan bunuh diri yang bisa dilakukan oleh semua pihak.
“Setiap terjadi peristiwa bunuh diri sesungguhnya menjadi peringatan agar kita semua tidak mencemooh pelakunya. Luka batin yang dialami suami atau istri, anak-anak, orang tuanya itu sungguh berat. Itu juga memerlukan upaya penyembuhan yang tidak mudah agar segera kembali dalam suasana hidup secara normal dan produktif. Oleh karena itu, sudah semestinya tidak dilakukan pemberian label atau cap negatif kepada keluarga dan pelaku. Ingatlah, keluarga dan sanak famili yang sedang menderita, mengapa masih ditambah sakit dengan label yang kontra produktif dengan upaya pencegahan bunuh diri itu,” imbuh Ida. (Kandar)
***
Catatan Redaksi:
- Ayo bantu ringankan beban dan pulihkan keluarga terdampak bunuh diri, dan berhentilah mencemooh, mengolok-olok atau menghujat orang/keluarga penyintas dari bunuh diri. Kejadian bunuh diri adalah peristiwa kemanusiaan dan problema kita bersama, dapat menimpa siapa saja tanpa memandang status sosial, pendidikan, agama, jender, dan atribut-atribut lainnya.
- Ayo bantu cegah bunuh diri di Gunungkidul dengan cara peduli kondisi fisik dan kejiwaan anggota keluarga, sanak saudara, dan sesama. Berikan bantuan kepada sesama yang memerlukan dukungan permasalahan kejiwaan atau kesejahteraan mental.
- Menyambungkan sesama yang membutuhkan pertolongan problema kejiwaan dengan layanan kesehatan terdekat (Puskesmas, Klinik, Rumah Sakit) atau layanan konseling kepada pemuka masyarakat dan pemuka agama setempat dapat menjadi upaya preventif mencegah bunuh diri.