Petani Ini Saksi Sejarah Jaman Penjajahan

oleh -5589 Dilihat
oleh

PALIYAN, kabarhandayani.– Arti Kemerdekaan bagi para Petani Gunungkidul, sekaligus salah satu saksi sejarah saat Indonesia berhasil mendapatkan Kemerdekaan.
Kemerdekan Republik Indonesia ke 69 begitu berarti terutama oleh sebagian petani Gunungkidul, pasalnya saat masa penjajahan masyarakat cenderung diperlakukan tidak adil. “Jaman dahulu bisa makan nasi itu hal yang luar biasa, karena tidak setiap hari bisa memakan nasi, gantinya ya tiwul. Kalau tidak ada masyarakat membuat makanan yang terbuat dari dedak (katul),” ungkap Karso Wirono salah satu saksi sejarah di Desa Giring
Karso Wirono mengaku ikut merasakan masa penjajahan dan Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Perjuangan berat ternyata tidak hanya diemban oleh para Pahlawan namun masyarakat sipil juga dituntut untuk berjuang dalam kehidupannya.
Rasa takut dan kelaparan sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat sipil waktu itu. “Ya mau bagaimana lagi masyarakat seperti terkurung dan tidak berani untuk berpergian, apalagi pada waktu itu seorang teman saya ada yang tertembak oleh tentara Belanda, membuat masyarakat semakin takut untuk berpergian,” jelasnya
Kepada KH, Karso menambahkan perjuangan berat itu harus dijalani petani karena ketakutan pada tentara Belanda, tak jarang masyarakat harus bersembunyi di sebuah goa yang mereka buat di dalam rumah, atau goa alami yang berada di pinggir sungai demi menghindari tentara Belanda yang memantau keadaan di desa masing-masing. “Kalau orang sini menamainya cluekan itu dibuat untuk bersembunyi saat tentara datang,” tambahnya.
Lebih lanjut Karso menerangkan jaman dahulu harus memakan tiwul dikarenakan tidak sempat untuk menanam padi, yang bisa ditanam hanya ketela (singkong). “Tidak ada waktu untuk bertanam padi, jadi nasi merupakan makanan tambahan bukan makanan pokok pada waktu itu, maka dari itu saya sangat kesal ketika ada orang yang menyisakan nasi. Mereka tidak tahu bagaimana dahulu susahnya setengah mati untuk mengkonsumsi nasi sehari-sehari, ” paparnya.
Menurutnya rasa persatuan dan kesatuan saat jaman dahulu lebih kental karena masyarakat cenderung hidup berdampingan bersama-sama tidak seperti sekarang. “Keharmonisan dan kerukunan bermasyarakat pada jaman dahulu sangatlah baik, karena masyarakat merasa kebersamaan adalah hal utama dalam perjuangan hidup masa penjajahan,” terangnya.
Petani pada jaman dahulu benar-benar menggunakan alat-alat tradisional seperti ani-ani (alat untuk memetik padi) juga masih membajak dengan ditarik oleh manusia belum ada traktor seperti saat ini. “Sekarang bertani sudah dibantu dengan alat-alat modern tidak seperti dahulu yang harus mengeluarkan seluruh tenaga untuk bertani,” kata Karso.
Terakhir Karso menambahkan Kemerdekaan belum begitu terasa oleh para petani, karena impor beras dan kedelai yang masih dilakukan membuat petani tidak berdaya. Hasil dari jerih payah di sawah belum mencapai titik maksimal bagi para petani. Harga jual hasil pertanian sangat rendah, membuat petani belum bisa ikut merdeka di bidang pertanian. “Benih mahal belum lagi pupuknya namun harga hasil pertanian tetap saja rendah,” imbuhnya.
Petani Gunungkidul masih belum bisa dikatakan merdeka secara pertanian karena masyarakat Gunungkidul yang sebagian besar menggunakan sistem bertani tadah hujan hanya bisa memanen padi satu kali dalam setahun. “Harus ada solusi agar petani di Gunungkidul bisa dikatakan Merdeka di bidang pertanian,” pungkasnya. (Atmaja/Hfs)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar