NGAWEN (KH)— Di wilayah Kabupaten Gunungkidul, tepatnya di Padukuhan Jentir, Desa Sambirejo, Kecamatan Ngawen, Kecamatan Ngawen terdapat bangunan cagar budaya berupa Tugu Tapal Batas Keraton, atau sering disebut Tugu Mataram. Riwayat berdirinya tugu ini berdasar konsekuensi administratif atas pecahnya Kerajaan Mataram menjadi dua wilayah, yakni Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Seksi Perlindungan Benda Cagar Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Gunungkidul, Ir winarsih mengungkapkan, Tugu ini sebagai penegas adanya Perjanjian Klaten yang meratifikasi perjanjian Giyanti. “Perjanjian Klaten pada tanggal 27 September 1830 menegaskan wilayah kekuasaan dari Kasultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta,” katanya beberapa waktu lalu.
Dalam perjanjian Klaten, sebut dia, bahwa wilayah Yogyakarta meliputi Mataram dan Gunungkidul, yang di dalamnya terdapat enclave Kasunanan Surakarta (Imogiri dan Kotagede), Mangkunegaran (Ngawen) dan Kadipaten Pakualaman (Adikarto).
Bangunan tanda pembatas terdiri dari dua buah tugu berbentuk Gapura. Pembuatan tugu milik Surakarta pada tahun 1937 M, atau tepatnya pada 22 Redjeb 1867 (Jawa). Angka ini tertulis pada tugu menyertai tulisan huruf jawa pada tugu.
“Untuk tugu Surakarta warnanya putih dan biru, agak kurang terawat. Dimungkinkan faktor umur pada beberapa bagian terdapat retakan,” jelas Winarsih.
Sedangkan Tugu milik Kraton Yogyakarta lapisan cat dinding berwarna putih, hitam dan ada kombinasi warna emas. Selain lambang kebesaran kraton juga terdapat tulisan huruf jawa dan tanggal 29 Djoemadilawal 1867 (Jawa), atau tepatnya pada 1937 M.
“Dapat diketahui, pembangunan ini pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII. Bangunan ini terdaftar sebagai benda Cagar Budaya kelas C atau pada level Provinsi,” ungkap dia. (Kandar)