KABARHANDAYANI,– “Ruang-waktu merupakan aspek-aspek yang berbeda dari sesuatu yang sama.” Demikian seorang fisikawan peraih Nobel Albert Einstein pernah berucap.
Sangat sulit mencari batas antara realitas fisik dengan metafisik, yaitu realitas di sebalik fisik. Kesadaran tentang batas ini biasanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Penggambaran manusia terhadap realitas fisik lebih mudah dipahami dari pada ‘realitas’ itu sendiri: setiap konsep tentang realitas serba terbatas. Konsep adalah alat. Sehingga bersifat pseudo. Semu. Bagi orang tradisional, semu itu ‘satu-yang-dua’; tunggal-aroro. Ada makna wantah, ada makna lebet. Mereka canggih dalam kesadaran ini, lantas menyebutnya pasemon yang bukan semu; seperti halnya ‘permainan’ yang bukan ‘main-main’. Kosok-bali dengan kesadaran kebanyakan kita anak cucunya. Kesadaran tentang sesuatu seperti beberan acara TV yang kita yakini sangat-sangat nyata.
Bahkan, ketika seseorang berfikir bahwa ia telah mengetahui posisi peruang-waktuan seseorang yang lain di tengah dunianya dengan ‘tepat’, seseorang yang lain itu membodohi kita dengan ‘realitas-beda’ yang mereka hayati. Yang mereka dalami. Bagi seorang subjek, suatu realitas itu semu. Bagi objek, yang pada waktu sama berada pada ruang-waktu teramati, ia adalah subjek pula. Ia mengalami realitas otonom tanpa terpengaruh realitas pengamat.
Semua serba mungkin: realitas dalam seni reyog, yang dalam bahasan ini reyog dhodhog (piranti musik pengaturnya adalah dhodhog, kendhang muka satu) dalam pengertian reyog Gunungkidul, adalah suatu realitas lembat, yang tak terduga, yang futuris, yang sangat riuh, yang kosong-sepi, bahkan yang ‘sejarahnya’ campur-bawur antara satu peristiwa dengan peristiwa lain, antara satu jaman dengan jaman lain. Sejak jaman Kediri, Majapahit, Ponorogo, Wonosari, Karangmojo, dan peristiwa-peristiwa lain yang terjadi di Gunungkidul di waktu-waktu selanjutnya.
Karena, pada akhirnya, kebenaran (narasi, pertunjukan) reyog Gunungkidul berdasar pada asumsi masing-masing, yaitu ‘sejarah’ suatu wilayah, politik lokal, serta hasil bacaan yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya.
Kesadaran Fisiko-Musikal
“Pung pung, pung jing pung pung jing pung jung, pung jing pung pung jing pung jung, . . .” , begitu kira-kira akapela iringan reyog-dhodhog Gunungkidul jika disuarakan. Dominasi suara bendhe. Bergantian dengan suara: dhog dhog, dhog dhog dhog dhog,… dhog dhog, dhog dhog dhog dhog. Seiring angklung. Kolaborasi suaranya bisa terdengar jauh. Melompati gunung-gunung dan desa-desa. Ini orkestra musik soran (keras). Ini hentakan. Yang siklis. Sekaligus magis. Memanggil dari kejauhan, dari balik gunung, dari lubuk alir air sungai. Kadang pendengaran masyarakat awam bisa terganggu: dari mana arah suaranya? Utara atau barat? Timur atau selatan? Akhirnya, dengan keyakinan tinggi, mereka menuju satu ruang dimana reyog mbeber; reyog beratraksi dan unjuk diri. Riuh-rendah suaranya, di pusat populasi, dalam waktu yang sangat mitik.
Kombinasi piranti bendhe dalam iringan reyog-dhodhog, dengan dhodhog sebagai piranti pengatur irama, adalah alat-alat penyembuhan tingkat kuanta. Seperti terapi alat musik dalam psikologi. Piranti-piranti musik dalam reyog adalah simbol dalam psikologi-komunal: alat bantu ingat suatu kelompok masyarakat tentang sesuatu, yang semenjak reyog diciptakan oleh para leluhur dulu mampu menggerakkan ‘sesuatu’, yang jauh tenggelam dalam neurotik masyarakat. Sesuatu itu berupa massa yang tumpah-ruah, yang riuh, yang campur-aduk di lapangan (makna reyog dari kata reog).
Dulu, menurut kisah, reyog yang ditulis reog, adalah tarian tak bertopeng yang dimainkan oleh sekelompok laki-laki bertelanjang dada, membawa bendera dan pedang kayu. Ingatan yang jauh ini pula yang dikuatkan oleh Jap Kunst, bahwa reog adalah kata yang digunakan untuk menyebut sejenis kendang dhogdhog. Kendang pengatur irama dalam reyog. Sesuatu itu juga mengingatkan pada istilah angreyok, yaitu nama sekelompok pasukan istana, yang berhubungan dengan keprajuritan; olah seni prajurit.
Suara yang dihasilkan dari kombinasi bendhe, dhogdhog, serta angklung, melalui gelombang-gelombang dalam frekuensi tertentu, berpengaruh pada kesehatan, kebahagiaan, kesemangatan, dan ketentraman manusia. Ingatan-ingatan kolektif yang getar. Getaran (vibrasi) yang dihasilkan bendhe dan teman-temannya inilah yang oleh orang tradisional disebut swaraning-jagad; riuh, keras, campur-bawur, bersifat mitik-magis. Barangkali spiritnya adalah gelombang elektromagnetik: gelombang mikro (radio). Bendhe adalah piranti untuk mengumpulkan massa, lantas memulai suatu pertunjukan. Yang secara super-lembut pertunjukan reyog menggerakkan anak-anak, ibu-ibu, mas-mas, bapak-bapak dan sebagainya untuk gumregah mencari arah asal suara. Ambyuk di pusaran suara.
Bendhe, secara fisika-musikal-mitik, dapat memengaruhi kesadaran. Barangkali semacam aktivasi kesadaran. Kondisi bawah-sadar atau pra-sadar para pemain reyog maupun penonton bisa dipengaruhi. Kesadaran diintervensi melalui pancaran gelombang-mikronya. Sebaliknya, karena manusia adalah kesadaran tentang alam-fisik, maka manusia mampu mengintervensi vibrasi molekul dalam materi, dalam suara bendhe, dengan vibrasi dari dalam kesadarannya. Dan seakan-akan, pra-kesadaran pemain dan penonton tentang nalar yang tersembunyi dalam reyog dapat menciptakan bio-gravitasi, medan gravitasi yang hidup, yang dapat menginteraksikan satu dengan yang lain. Bahkan, ‘realitas’ reyog yang sesungguhnya mampu mengubah medan gravitasi yang hadir dalam kesadaran pemain dan penonton.
Trans(endensi): Riuh yang Sepi
Fisika pada akhirnya menemukan bahwa di dalam tubuh materi yang jauh adalah ruang-ruang kosong yang luas, yang tak terduga , dan tak terhingga. Struktur realitas ini seperti struktur mimpi. Namun bagi metafisika, manusia tradisi, bahkan agama, kekosongan yang dalam, tempat pemain reyog menuju, memang nyata. Keramaian beber reyog di depan balai dusun, atau balai desa, atau lapangan desa, merupakan jalan bagi masyarakat untuk ambyur dalam keriuhan. Ya, paling tidak, untuk beberapa saat keriuhan beber reyog bisa digunakan sebagai ruang-waktu ‘transendental’ untuk sejenak mengambil jarak dari realitas di kehidupannya yang lain; yang sesak, yang tertindas, yang sengsara, yang tersingkir, untuk ‘menyepi’ dalam keriuhan. Ketakberaturan suara-suara penonton, bunyi ongek-ongek, suara TOA pembawa acara di pendhapa, ungel klenengan, dan sebagainya, dapat menarik dan mengajak kesadaran massa hanyut dalam ruang-waktu sepi. Kekosongan. Apalagi beber reyog ini berada dalam ruang-waktu yang disebut rasulan: bersih-bersih diri. Identik dengan laku-sepi ke pusat diri. Beber reyog syaratnya, ritusnya.
Paradoks dengan ruang-waktu riuh orang modern. Realitas fisik yang hingar-bingar. Dalam keramaian seperti itu, melalui penonton modern yang menyaksikan beber reyog-dhodhog, seakan realitas yang tampak adalah manipulatif, koruptif, hingga dengan senyum kecut menyaksikannya hanya sebagai manusia-manusia yang sok berkesenian saja, yang hanya gedhag-gedheg kanan kiri, yang sok tak sadarkan diri, yang ragam tarinya tak melimpah (monoton). Kemudian, seorang penonton modern yang begitu berjarak dengan beber reyog, dengan keimanan sangat tinggi yakin bahwa ia pada ruang-waktu reyog beber sedang berwisata: menonton beber reyog dalam ruang-waktu yang disebut seni tradisi yang dipentaskan. Tetap saja kanan-kirinya riuh. Tak ada gerak ke pra-kesadaran yang sepi itu.
Karena memang penonton, atau lebih pas-nya partisipan, yang berbeda-beda, akan mengkonstruksikan suatu peristiwa dalam bentuk berlainan pula: inter-relasi, kronologi, bergantung pada posisi dan ikatan fisik-metafisiknya dalam mencerap peristiwa. Massa yang mengalami trans(edensi) ketika masyuk di tengah beber reyog, mereka melakoni perpindahan ruang-waktu; seakan masuk ke semesta-melengkung, tenggelam di kedalamannya. Ke kamar-kamar kuanta. Blok-blok. Yang kosong, sepi, namun ada frekuensi di sana. Ada gelombang; ada energi yang tak tahu dari mana asalnya. Dalam gerak berulang yang kontinum, diiringi riuh bendhe dan kawan-kawan, Sang Senapati tertunduk, bersama jaran kepang tunggangannya yang tampak berbusa-busa: busa ruang-waktu yang tak terjangkau oleh beberapa orang penonton. Nanti, setelah beber bubar, mereka menyerap energi yang luar biasa.
Pasangan-Oposisi Abadi
Festival reyog memang secara tak sadar merupakan laku pamer dan unjuk diri. Maka, bentuk seninya banyak mengadopsi cita-rasa seni tinggi (kampusan, kantong-kantong seni, atau kraton). Ragam gerak, kostum, garap iringan, menjadi hal yang diperhatikan dalam festival. Sepi dalam keramaian jarang ditemukan dalam ruang-waktu seperti ini. Meskipun kata beberapa pejabat, “Ini sebuah jalan untuk memberi roh baru pada reyog, sekaligus mempertahankan spirit lama”. Padahal, orang tradisional telah kuno menganggap bahwa seni reyog itu magi(s). Reyog itu ritual. Reyog itu jalan menuju sesuatu, sekaligus tujuan. Inilah pasangan-oposisi: yang atas ingin dianggap sebagai pelestari (dan payahnya hanya menganggap seni tradisi sebagai komoditas wisata) yang ekstasif, sementara yang bawah: reyog adalah partisipasi, sehingga hidup jadi gayeng, guyub, rukun. Reyog adalah sebuah jalan trans(endensi) untuk menemukan sang-diri, atau, paling tidak, sejenak bisa meninggalkan kehidupannya yang penat karena terlalu sibuk golek-upa, yang pontang-panting. Dan ketika rakyat bawah main reyog kadang malah dianggap sinting.
Mereka nggobat-nggabitke kepala jaran kepang. Maju, mundur, kanan, kiri. Mereka mengibarkan panji-panji. Mereka menjaga songsong kebesaran. Mereka mengacungkan tombak. Mereka mendentingkan pedang, mengadukannya. Mereka dua senapati. Mereka para prajurit. Mereka abdi: penthul-tembem. Dalam satu adegan ada senapati yang tersungkur, yang satu menantang, sesongaran, sang abdi menembangkan mantra, yang satu kemudian bangun, berperang, yang satu ganti tersungkur. Bangun. Berperang. Imbang. Mengambang.
Tak jelas reyog dhogdhog itu merujuk pada narasi (pertunjukan) yang mana. Narasi peperangan antara Klana Sewandana dan prajuritnya melawan Singa Barong untuk melamar Dewi Sanggalangit di Kediri; narasi Suryangalam di daerah Wengker (Ponorogo) yang menggambarkan prajurit berkuda Majapahit yang ‘feminim’; narasi Batara Katong (Gunungkidul) yang berperang melawan Suryangalam; narasi peperangan antara Wanapawira dan prajuritnya melawan Rangga Puspawilaga memperebutkan Rara Sudarmi; peperangan antara Wanabaya dengan Mataram; atau yang lain. Yang jelas, reyog akan selalu diingat dan dihidupkan kembali oleh anak cucu Gunungkidul, dalam lakon-lakon lain sepanjang waktu, sebagai sebuah pertunjukan-tari-naratif yang campur-bawur, yang riuh, sebagai alat bantu ingat bahwa manusia perlu berusaha terus-menerus untuk mengalahkan apa yang dikategorikan sebagai musuh. Dan musuh yang nyata adalah, biasanya, ketaktahuan tentang jati-diri sendiri.
Suatu saat ketika beber reyog bubar terselip harap: para pemain reyog sangat sadar siapa dirinya. Dalam kehidupan sehari-harinya, mereka tidak lah semegap-megap seperti lirik Kuda-Lumping-nya Sawung Jabo pada realitas kekinian. Lantas ‘mampus’ ditelan jaman. Bukan tenggelam di dunia ‘simulakra’, yaitu mitos-mitos manusia modern, yang menganggap bahwa pandangan-dunianya tentang seni tradisi semacam reyog adalah realitas yang terbatas. Mereka adalah prajurit reyog. Mereka pandai berperang dalam realitas kehidupannya.
Semoga beber-reyog yang riuh-rendah, tiap kali ia hadir, dapat mengajak siapa saja kembali bertamasya ke blok-blok ruang sub-atom yang kosong, yang sepi; tenggelam dalam (i)magi-nya yang tak berbatas; menarik diri dari batasan kehidupan yang terlalu sesak manipulasi.
[KH/WG]