GEDANGSARI,(KH) — Sengatan matahari pada siang hari Sabtu (21/02/15) terasa sangat terik. Keringat yang bercucuran tertahan kulitnya yang keriput, tangannya sudah gemetar memegang alat pikul yang terbuat dari bambu. Dengan tubuh membungkuk, usia lanjut ini tetap bersemangat melangkahkan kaki pada panasnya jalanan aspal di wilayah Gedangsari.
“Ting….. Ting…. Ting….,” suara mangkok yang dipukul dengan sebuah sendok oleh Mbah Tugiyo, seorang kakek penjual es dawet keliling ini. Untuk sekadar melepas lelah, sang kakek kadang beristirahat sejenak dibawah pepohonan rindang, tak lama kemudian dia bangkit kembali melanjutkan perjalanan menelusuri satu desa ke desa lainnya.
“Harus cepat-cepat terjual, karena masih ada kerjaan lainnya yang menanti dirumah,” ucapnya, sambil mengangkat barang dagangannya, lalu menaruhnya di pundak sebelah kiri.
Ia adalah Mbah Tugiyo (86), warga Padukuhan Bulu Hargomulyo Gedangsari. Usianya sudah tergolong adiyuswa atau lanjut usia. Bagi kebanyakan orang, di usia lanjut seperti itu biasanya sudah jarang yang melakukan pekerjaan berat. Namun, Mbah Tugiyo tetap setia pada pilihannya untuk menjadi orang yang tidak merepotkan anak-anaknya.
Mbah Tugiyo setiap hari memikul dawet dagangannya dengan berjalan keliling desa rata-rata sejauh 5 kilometer. Bahkan setiap hari pasaran Wage, ia berjalan pergi-pulang sejauh 18 kilometer. Setiap Wage, sejak pukul 04.00 subuh, ia sudah mulai memikul dagangannya menuju pasar Nglegi.
“Boro-boro buat naik angkutan, mending hasilnya untuk keperluan sehari-hari. Selagi masih sehat dan ada tenaga, saya tidak ingin merepotkan anak-anak saya. Apalagi anak saya juga sama sebagai pekerja tani serabutan,” kata kakek tiga anak dan tujuh cucu ini.
Setelah selesai berkeliling menjual dawet, Tugiyo dan istrinya juga pergi ke ladang untuk mengolah sawah dan mencari pakan satu sapi yang dipelihara. “Saya pelihara satu ekor sapi. Meski hanya gadhuhan milik tetangga, saya tetap semangat memelihara. Karena jika laku dijual dengan harga tinggi saya pun mendapat untung,” ujarnya.
Tugiyo menuturkan, bahwa ia sudah 42 tahun menjalani pekerjaannya sebagai penjual dawet keliling. Ia mengaku, bahwa hidup itu memang keras, dan ia sangat setia menjalani pekerjaan jualan keliling yang telah menjadi jalan rejekinya itu.
Tugiyo menceritakan, satu mangkok kecil dawet ia jual seharga Rp 2.000,-. Dari hasil berjualan dawet tersebut, dalam waktu sehari ia mendapatkan uang dalam kisaran Rp 50.000,-. Pada saat ini ia terkadang merasakan dagangannya lebih sulit terjual. “Apalagi zaman sekarang, es krim lebih di sukai orang. Tapi, saya tetap menekuni berjualan dawet ini, karena bagaimanapun dapat mencukupi kebutuhan keluarga,” ungkapnya.
Mbah Tugiyo sebelumnya juga menjadi pembuat tenggok, nampan dan kerajinan lain yang berbahan baku dari batang bambu. Namun, berhubung tidak mendapatkan pesanan secara rutin, ia kemudian berusaha memenuhi kebutuhan hidup dengan berjualan dawet keliling, seperti yang ia jalani sampai saat ini.
Menutup pembicaraannya dengan KH, Mbah Tugiyo mengatakan akan tetap menekuni pekerjaannya sebagai penjual dawet keliling selagi tubuh masih dirasakannya mampu untuk mengerjakannya. “Selagi masih mampu bekerja, saya enggan untuk berharap kepada orang lain akan keadaan saya dan keluarga,” pungkasnya. (Atmaja).