Kisah Ki Ageng Wonokusumo dan Tradisi Madilakhiran

oleh -48265 Dilihat
oleh
Daryanto salah satu juru kunci berada di samping Gebyok, Makam. KH/ Kandar

Hal lain yang terkait dengan cerita K.A. Wonokusumo yakni kesukaannya terhadap kesenian terbangan. Diyakini oleh masyarakat, saat sebuah kelompok seni terbangan sedang mengadakan latihan, beliau datang untuk melihat. Namun hanya juru kunci yang pertama saja yang dapat mengetahui dan berkomunikasi dengan beliau. Diceritakan pula, dulu ketika Sultan Hamengku Buwana IX memerintah, gambaran keluhuran Kraton Yogya yang ditandai dengan wujud pancaran sinar-sinar cahaya dari berbagai pelosok yang menuju kraton pada saat hari jum’at, pancaran sinar dari makam K.A. Wonokusumo lah yang paling terang, paling kuat, atau malah bisa dikatakan satu-satunya tempat yang memancarkan cahaya dibanding makam/petilasan pepundhen kraton yang lain.

Juru kunci dan warga pelestari tradisi Jumadilakhiran. KH/ Kandar
Juru kunci dan warga pelestari tradisi Jumadilakhiran. KH/ Kandar

Tradisi Jumadilakhiran

Meskipun hari meninggalnya K.A Wonokusumo tidak diketahui hari yang sebenarnya, hanya berdasar cerita tutur turun temurun menyesuaikan peristiwa para sahabat menjawab pihak Belanda, namun sebagai bentuk peringatan, masyarakat mengadakan tradisi jumadilakhiran.

Tradisi jumadilakhiran atau sering diucapkan madilakhiran masih lestari, berjalan sejak puluhan tahun silam hingga saat ini. Jumadilakhiran dilaksanakan pada setiap Bulan Jumadil Akhir. Puncaknya pada hari Senin atau Kamis antara tanggal 20-25 Bulan Maret Tahun Masehi.

Selama hampir sebulan sebelum hari H, masyarakat serta peziarah dari berbagai kota bahkan dari Sumatra dan Kalimantan, telah datang di lokasi untuk ikut merayakan atau memperingati. Para peziarah yang datang biasanya memiliki hajat.

Ada yang hajatnya telah terkabul dan pada peringatan berikutnya tetap datang. Ada yang datang untuk berdoa demi menghaturkan hajat. Yang hajatnya terkabulkan atau belum, mereka ikut menyumbang. Daryanto bertutur, yang pernah sambat-sebut (permohonan dan berjanji) atau mengucapkan nadhar dan akan menyumbangkan sesuatu saat madilakhiran, maka mereka datang memenuhi janjinya.

Janji itu semisal: menyembelih sapi, kambing, ayam, atau menyumbangkan kebutuhan masak yang lain. Doa dan permohonan para peziarah mengenai berbagai hal, misalnya mengenai usaha dagang, jodoh, pekerjaan, pendidikan, sakit, naik pangkat, dan lainnya.

“Macam-macam nadhar itu, bisa berupa: setelah sembuh dari sakit akan menyembelih sapi saat madilakhiran dilaksanakan; jika diterima bekerja akan menyembelih ayam; jika usaha dagangnya laris akan menyembelih kambing; dan seterusnya. Semua itu dilakukan sebagai wujud syukur para peziarah,” beber Daryanto.

Gambaran prosesi madilakhiran disampaikan, para peziarah lokal maupun peziarah dari berbagai kota seperti Jakarta, Bali, Mojokerto, Tulungagung, Surabaya, Solo, Klaten, serta Kalimantan dan Sumatra, berkelompok berjumlah 20 hingga 30-an orang. Mereka berkelompok, berada di rumah-rumah warga di tiga padhukuhan, yakni Wonotoro, Warung, dan Banjardowo, bergabung dengan warga dari bebagai kota yang jumlah keseluruhannya mencapai 500-an orang.

Warga di tiga padukuhan tersebut memang masih melestarikan tradisi madilakhiran. Padukuhan Wonotoro ada 170 KK, Banjardowo ada 100-an KK, sedangkan Padukuhan Warung sekitar 130-an KK. Mereka melaksanakan nyadran: menyembelih dan memasak apa yang di sumbangkan oleh peziarah.

Saat memasak, makanan tidak diperkenankan untuk dicicipi. Tetapi anehnya, makanan yang telah dimasak selalu saja ‘pas’ bumbunya. Setelah makanan masak lalu dikendurikan, dibagi ke sekitar, dan dimakan bersama. Setelah itu mereka mendatangi Makam K.A Wonokusumo bersama juru kunci untuk berdoa, menyampaikan maksud (hajat), atau mengucap syukur telah melunasi nadhar.

Karena kegiatan madilakhiran ini sudah diakui oleh pemerintah sebagai tradisi kebudayaan dan event wisata religi, maka pada setiap dilaksanakannya tradisi madilakhiran setiap tahun dihadiri beberapa pihak, seperti dari Kraton Yogyakarta, Disbudpar, Pemkab, Kodim, Polres, Muspika, pihak desa, tokoh, dan tamu undangan lain.

Prosesi madilakhiran atau wilujengan K.A. Wonokusumo sebagai event budaya berupa kegiatan syukuran dengan kendhuri bersama. Setelah kendhuri usai, masakan dihidangkan untuk disantap bersama. Demi mendukung prosesi madilakhiran atau wilujengan K.A. Wonokusumo ini, Disbudpar Gunungkidul membangun sebuah joglo di sebelah barat makam, tujuannya agar bisa digunakan untuk prosesi acara tiap tahunnya, yang sering dihadiri oleh peziarah dari kota-kota yang jauh.

Karena kota asalnya yang jauh, terkadang para peziarah harus menginap sebelum pulang. Ada keyakinan, jika ada peziarah yang hadir di acara ini dapat membawa pulang bunga tabur, sekaligus membawa pulang air sendang Panti Tirta Jaya yang berada di sebelah barat makam, yang debit kucuran airnya selalu stabil meski kemarau atau hujan deras, maka permohonannya akan terkabul.(KH/Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar