Dalam perjalanan hidupnya, K.A. Wonokusumo sempat merasakan masa penjajahan Belanda. Ia dianggap sebagai musuh yang membahayakan pihak Belanda. Saat itu, saat orang-orang Belanda mencari keberadaannya, dirinya disembunyikan oleh sembilan sahabatnya. Sembilan sahabat itu bernama; Eyang Joyo Lelono, Eyang Joyo Prakoso, Eyang Tiyoso, Eyang Tiyoso, Eyang Tiyoso, Eyang Tiyoso, Eyang Tiyoso, Ny Resemi, dan Nyi Joimanuk. Jika ditanya, para sahabat menjawab pertanyaan pihak Belanda bahwa K.A Wonokusumo sudah meninggal.
Jawaban para sahabat mengenai waktu meninggal K.A. Wonokusumo yang disampaikan ke Belanda tersebut kemudian diperingati dilestarikan oleh masyarakat sekitar hingga kini sebagai bentuk penghormatan melalui upacara bernama Madilakhiran.
Keberadaan makam kesembilan sahabat K.A. Wonokusumo berada di tiga bangunan yang disebut lintring, yang berada di sekitar bangunan utama makam K.A Wonokusumo, berupa joglo yang menjadi letak batu nisan K.A Wonokusumo.
Berdasar cerita juru kunci terdahulu, sebelum diganti dengan batu, nisan K.A. Wonokusumo yang asli ketika pertama kali ditemukan oleh warga berupa kayu. Nisan kayu yang diganti dengan batu lantas ditaruh di atas gebyok (penutup nisan berbahan kayu berbentuk balok). Gebyok berukuran 3m x 3m x 1,5m dan berpintu satu telah ada sejak pertama kali keberadaan makam diketahui oleh warga.
“Bangunan Joglo sebagai pelindung (rumah) makam itu pernah direhab oleh panitia Madilakiran. Sebelumnya atap joglo berasal dari kayu atau disebut sirap, lantas diganti genteng semen.Waktu itu pembiayaan rehab joglo selain diupayakan bersama panitia peringatan juga mendapat dukungan dari para peziarah,” kisah Daryanto.
Joglo tempat makam K.A Wonokusumo ini berbeda dengan tempat tinggal pada umumnya. Selain berukuran tidak begitu luas, tinggi tiangnya hanya 1,25 meter, sedangkan atap tengah memiliki tinggi 3 meter. Dalam perkembangannya, para peziarah yang merasa doa dan keinginannya terkabul lantas ikut membantu biaya rehab dan perawatan bangunan, berupa perbaikan lantai, eternit, cat dan lainnya.
Dilanjutkan oleh Daryanto, ada juragan sapi yang ikut membantu rehab joglo dan membangun lintring. Ada juga warga berkebangsaan Cina turut serta membuatkan serta cerobong asap tempat pembakaran kemenyan. Pengembangan pembangunan di sekitar makam sebagian besar dibiayai para peziarah.
Keberadaan makam K.A Wonokusumo dan para sahabatnya itu dikemudian waktu menjadikan area sekitar makam menjadi pemakaman umum. Namun demikian pengembangan lokasi tidak diperbolehkan berkembang ke arah utara, artinya tidak boleh berada di tempat yangi lebih tinggi dibanding makam K.A. Wonokusumo. Seperti petilasan atau makam yang disakralkan pada umumnya, setiap malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon dikunjungi banyak peziarah, yang jumlahnya mencapai ratusan, terutama saat musim kemarau.