Diriwayatkan oleh salah satu tokoh gereja GKJ Wonosari, Mukarta, bahwa keberadaan bangunan itu awalnya didirikan oleh lembaga urusan kesehatan dari Belanda. Berdasar cerita, tahun 1920 Hulp Hospital di Wonosari dipimpin oleh Bapak Mintowiloso, sebagai pimpinan juru rawat. Rumah dinasnya berada di sebelah utara poliklinik. Hingga saat ini bangunan tersebut masih ada.
Disebutkan, waktu tempuh dari rumah sakit induk di Yogyakarta apabila ada kunjungan dokter maka perjalanan akan ditempuh dalam waktu sehari penuh untuk sampai di Hulp Hospital Wonosari. Pada waktu itu, banyak pengobatan dengan menggunakan neosalvarsan sebagai obat bagi penderita frambosia yang sedang mewabah. Pada zaman itu penyakit kulit ini populer disebut Pathek’en.
“Jumlah dalam seminggu mencapai 300-400 orang, penduduk mayoritas masih miskin, banyak daerah kekurangan air. Bahkan masyarakat dapat mandi menggunakan sabun dan air sudah dianggap sebagai obat frambosia yang ampuh,” tambah lelaki yang berumur hampir 80 tahun ini.
Untuk mendapat pengobatan di tempat tersebut, masyarakat harus menempuh perjalanan yang jauh. Kebanyakan, setelah mendapat suntikan kemungkinan besar tidak kembali lagi untuk berobat.
Rangkaian sejarah lisan yang sampai kepadanya terdapat cerita menarik yang menyertainya, yakni pada waktu itu ada seorang pasien sakit mata bernama R Mangun Pawiro.
Ia berasal dari Desa Wiladeg Karangmojo. Bapak Mangun Pawiro pada waktu itu termasuk seorang yang dipandang oleh masyarakat suka mengganggu keamanan. Mengganggu dalam arti yang sebenarnya, ia suka mencuri, merampok dan sebagainya.
Selama berobat di Hulp Hospital Wonosari, ia menerima berita Injil, akhirnya ia bertobat. Ia bertobat setelah mendengarkan kisah pertobatan Saul yang didengarnya dari Mintowiloso yang dengan rajin memberitakan kepadanya.
Sejalan dengan pertobatan Mangun Pawiro, di Wonosari juga ada seorang yang sangat mengganggu keamanan masyarakat. Orang tersebut suka mencuri, merampok, mbegal dan sebagainya. Ia selalu menjadi buruan pemerintah. Hampir-hampir pemerintah pada waktu itu kehabisan akal. Orang tersebut memang menjadi “Lurah” atau pimpinan dari sekelompok penjahat. Ia bernama Bapak Djosetomo.
Dengan perjuangan keras, pejabat pemerintah pada waktu itu (Bupati) menghubungi Bapak Mintowiloso agar membantu “menjinakkan” Djosetomo, agar tidak suka mengganggu keamanan masyarakat.
Segala biaya untuk keperluan itu akan disediakan oleh pemerintah, asal Mintowiloso mau membantu “menjinakkan” Djosetomo. Bupati Gunungkidul pada waktu itu berpendapat bahwa orang Kristen itu bertingkah laku baik.
“Andaikata Djosetomo menjadi orang Kristen, niscaya ia tidak lagi mau mencuri dan sebagainya,” kata mantan Sekretaris Badan Kerja Sama Pemuda Militer (BKSPM) waktu itu menyebut pendapat bupati kala itu.
Lantas Bupati Gunungkidul mengadakan konsultasi dengan Mintowiloso untuk membicarakan kemungkinan mendidik Djosetomo agar menjadi baik. Didapat kesimpulan bahwa Mintowiloso bersedia membantu “menjinakkan” Djosetomo.
Kemudian dipanggilah Djosetomo untuk dijadikan tenaga pengapur di Hulp Hospital. Semenjak saat itu berubahlah perilaku jahatnya. Perkembangannya untuk melayani wilayah yang tidak terjangkau maka dibangunlah cabang-cabang dari Hulp Hospital itu, ada di Panggang dan Bintaos, Tepus serta tempat lain. Saat ini di antaranya berubah menjadi Puskesmas milik pemerintah.
“Peta tanah Desa Wonosari yang lama lebih jelas, bahwa itu bangunan Hulp Hospital,” tegas Mukarta.
Cerita berlanjut, setelah Indonesia dikuasai Jepang, maka sejak saat itu pula sudah tidak lagi difungsikan sebagai rumah sakit. Ia menceritakan tidak begitu jelas pemanfaatannya oleh Jepang. Dugaannya, sebagai tempat kegiatan tentara Nippon, Kemudian setelah proklamasi kemerdekaan maka diambil alih oleh Pemerintah Indonesia.
“Lalu digunakan sebagai markas Kodim lama. Lalu dekade 70-an Kodim pindah ke tempat baru seperti yang ditempati sekarang. Agak disayangkan, bangunan bersejarah itu kurang terawat, banyak digunakan sebagai usaha masyarakat sehingga merubah beberapa bentuk,” ujar dia.
Yang jelas, ungkap dia, dahulu dindingnya sebagian masih gedek, kemudian meski dindingnya dirubah menjadi tembok, ramuan atas masih tetap. Demikian penuturan yang masih sangat jelas dari mantan tokoh BKSPM pada masa G30 S PKI ini . (Kandar)
Sumber: Wawancara langsung dan Selayang Pandang GKJ Wonosari.