Almarhum Mbah Jarwo Utomo adalah seorang pensiunan pegawai KUA di Kapenewon Panggang. Beliau meninggal tahun 2018 lalu. “Di masa hidupnya, almarhum terkenal agak mbedani. Kadang Mbah Jarwo mempunyai ide yang orang lain tidak memikirkannya, sehingga sering jadi bahan guyonan,” kenang Satro Ponimin (47 tahun), putra mantu Mbah Jarwo Utomo.
“Termasuk ide menanam pohon cengkeh ini. Lha kalau umumnya orang kan menanam pohon jati atau akasia. E, Bapak malah menanam pohon Cengkeh, yang waktu itu sangat asing di wilayah kami,” Ponimin melanjutkan.
Pohon cengkeh yang tersisa sudah mulai berbunga. Bunga cengkeh siap dipanen. Mbah Sayem menceritakan bahwa ia dulu pernah merasakan panen 1 kwintal bunga cengkeh kering. “Waktu itu harganya Rp 20 ribu per kilo, lumayan untuk nilai uang di tahun itu,” Mbah Sayem mengungkapkan.
Siang itu, KH menyempatkan diri untuk berkunjung ke kebun cengkeh milik Mbah Jarwo utomo, dengan ditemani oleh Iwan dan Sastro ponimin. Dari parkir motor kami harus berjalan kurang lebih 500 meter untuk sampai ke kebun.
Tanaman Cengkeh Mbah Jarwo ternyata ditanam dengan sistem tumpang sari, yaitu di tanam di bagian pematang ladang, di mana di tengah-tengahnya jika musim penghujan akan ditanami Padi, Jagung, dan polowijo.
“Cerita Almarhum, dulu di sini adalah lahan ereng-ereng/miring, dan diujung sana ada sebuah luweng, ketika turun hujan air masuk semua ke luweng itu,” cerita Ponimin
“Bertahun-tahun Bapak mengolah lahan ini menjadi datar, dengan membuat beteng di sekitaran luweng, agar lahan bisa ditanami padi, Bapak dulu pernah masuk ke luweng itu, walau bermulut kecil, tapi di dalamnya kata Bapak sangat luas,” lanjutnya.
Dari cerita Mbah Sayem dan Ponimin, musim panen Cengkeh itu bertepatan dengan musim Gaplek, sekitaran bulan Juli atau Agustus.
“Bunga Cengkeh harus dipanen sebelum mekar, atau keluar buah, penandanya bagian pantat bunga berwarna merah, agar nanti hasil panennya berbobot, tidak ringan jika sudah kering,”terang Ponimin.
Disinggung soal perawatan dan hama, Ponimin menerangkan bahwa secara berkala ranting pohon kering harus dipotong, agar tumbuh tunas baru yang nantinya bunga Cengkeh akan tumbuh lebih lebat. Soal hama yang menyerang, biasanya ada semut putih atau tanaman merambat yang menempel pada dahan pohon, yang bisa mengakibatkan dahan pohon cengkeh kering.
“Saat Bapak sudah tua, kebun ini tidak ada yang merawat, kami selaku anak-anaknya memilih bekerja yang lain, kebetulan saya sempat merantau ke Korea sebagai TKI, tapi sejak 6 bulan yang lalu saya putuskan untuk merawat kebun Bapak ini. Saat ini saya mulai menyemai bibit Cengkeh lagi, dan besok kebun Cengkeh ini akan lebih saya maksimalkan. Karena lahan yang belum ditanami masih sangat luas,” terang Ponimin.
Dengan harga Cengkeh jering yang sekarang mencapai kisaran 100 sampai 200 ribu per kilo, Ponimin mulai berpikir tentang usaha perkebunan Cengkeh ini. Apalagi, kata Ponimin, ternyata daun dan ranting Cengkeh juga laku sebagai bahan dasar untuk diolah menjadi minyak Asiri dengan proses destilisasi. “Daun dihargai Rp 12 ribu per kilo, dan ranting Rp 17 ribu per kilo,” tukasnya.
Usai menengok kebun Cengkeh cukup lama kami menempuh perjalanan pulang. Kami melalui jalan setapak melintasi bukit-bukit yang penuh dengan belukar dan pohon jati serta akasia. KH membayangkan jika bukit-bukit ini menjadi kawasan kebun Cengkeh, tentu nilai ekonomisnya tak bisa dianggap remeh. Komoditi Cengkeh akan sangat membantu perekonomian masyarakat pengembangnya. Bahkan kemungkinan besar investasi kebun Cengkeh dapat dibilang lebih menguntungkan dari pohon jati dan tanaman keras yang lain. Sebab, Cengkeh setiap tahun panen, sementara Jati atau Akasia membutuhkan waktu puluhan tahun untuk sekali panen.
[KH/Edi Padmo]